Mohon tunggu...
Kang Nihat
Kang Nihat Mohon Tunggu... -

Muhammad Amirudin,( Kebumen,28 Desember 1993).Panggilan: NIHAT ,Jama’ah Maiyah Nusantara,asli Kebumen.Bekerja di Dunlop Indonesia.Hobi menulis,membaca & menonton Kunjungi Saya di http:// www.kangnihat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Egoisme Netizen dan Pers Menciptakan Perang Ilusi

11 Desember 2016   16:46 Diperbarui: 11 Desember 2016   17:02 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi generasi Netizen,internet dan juga sosial media telah membawa ke suatu titik dimana,seolah-olah informasi dunia sudah ada di genggaman.Lewat perangkat smartphone,segala informasi baik itu olahraga,politik,ekonomi,budaya dan lain sebagainya dengan mudah kita baca dan ketahui hanya dengan sentuhan jari.

Apakah itu pertanda bagus? Untuk konteks keilmuan itu jelas bagus tetapi internet dan sosial media bak dunia yang serba ada yang kita harus mengakui bahwa dunia ini takkan bisa disatukan karena nyatanya perbedaan itu pasti ada.Bukankah perbedaan-perbedaan itu sunatulloh.Ada bumi ada langit,ada pintar ada bodoh,ada pro pasti juga ada kontra,bukan?

Tetapi sayangnya perbedaan itu menjadi ancaman,perbedaan itu menjadi sebuah isu kekejian,peperangan dan pembunuhan.Saat kita sedang masuk kendali smartphone dimana kita bisa meluncur ke segala sisi arus informasi global baik bentuk audio,tulisan,video,game dan lain sebagainya,kita memposisikan diri kita menjadi raja yang semau-maunya.Jika kita setuju (pro) dengan suatu berita kita junjung dan bela mati-matian tetapi jika berita/informasi itu kontra dengan kita,kita hujat kita bully kita lawan seolah-olah kita yang paling benar dan mereka adalah pihak yang salah.Posisi ini memunculkan sikap kesombongan berinternet.Dimana internet yang membuka kran perbedaan-perbedaan dunia yang harusnya menjadi rahmat bagi semesta malah dijadikan sekat-sekat atau kelompok-kelompok yang saling menjatuhkan.

Kita lupa posisi kita,bak ilusi fatamorgana, kita menciptakan musuh sendiri di internet ataupun sosial media,kita menyerang dengan tulisan rasis,kotor,keji dan sumpah serapah karena kita merasa paling benar sebab yang kontra melakukan kesalahan menurut versi kita.Komentar kita hanya sumpah serapah,kata-kata kotor tanpa mau mengakui dan mencoba berfikir panjang bahwa yang dibutuhkan bukanlah kata-kata kotor ataupun sumpah serapah tetapi kritik yang membangun.Membangun disini juga harus mencangkup dimensi persatuan,cinta alam semesta dan juga cinta kepada Tuhan.

Kita juga tidak bisa menyalahkan begitu saja,pers yang hanya mencari rating dan populer (banyak dibaca orang) dengan memberi judul yang kontrofersial,menulis rubrik yang mengadu domba (isu-isunya juga tidak jauh paling-paling soal perbedaan agama,perbedaan pandangan agama,dan konflik antar suku/ras ataupun berita yang tabu semacam berita sex atau berita yang mengundang hawa nafsu),yang jika kita mau jujur,pers merupakan pihak kedua yang ikut terlibat bagaimana dunia ini berperang dan bermusuhan.Lewat pers,tokoh-tokoh dunia yang berperang ambil bagian melakukan propagandanya untuk kemenangan.Lewat pers pula,berita yang private harus menjadi open news yang akhirnya akan mengundang perpecahan dan jujung-ujungnya peperangan.

Alangkah indahnya jika pers bisa memilih dan memilah bahan beritanya,yang sekiranya dapat menyulut konflik harusnya tidak usah dipublikasikan,yang sekiranya tidak penting amat (semacam gosip artis sensasi gitu) tidak usah dipublikasikan berjam-jam bahkan menjadi headline,yang sekiranya positif bagi masyarakat hendaklah dipublikasikan,yang sekiranya menambah perpecahan janganlah dipublikasikan.Apakah pers mau berbuat seperti itu,pers tidak mau urus Indonesia ini akan seperti apa,masyarakat itu akan seperti apa,yang penting rating bagus dan terus bagus.Apakah ini watak asli pers,semoga saja tidak ya.

Kita juga harus bisa mengontrol diri dalam berinternet ataupun bersosial media,jangan sampai kepentingan yang penting di dunia nyata malah harus tergadaikan demi kepentingan dunia maya yang mungkin tak terlalu penting.Banyak yang harus kita pelajari terutama bagaimana kita belajar bertoleransi dalam berinternet.Bagaimana menghargai pendapat orang lain,bagaimana sikap yang baik saat menjadi pro,bagaimana sikap yang baik saat menjadi kontra,bagaimana berkomentar yang baik dan santun,apakah bisa belajar tentang semua itu? Janganlah menjadi raja (netizen) yang diktator saat berinternet tetapi jadilah raja yang bertoleransi tanpa kehilangan jati diri.

Jangan karena kita yang punya smartphone,kita jadi seenaknya sendiri,menyerang dengan komentar rasis dan keji kesana kemari.Tetapi jadilah netizen yang toleran dalam berinternet tanpa kehilangan jati dirinya.Dan menjadi netizen yang peduli dengan Cinta Tuhan,kebaikan antar sesama manusia dan kecintaan yang serius bagi lingkungan dan alam sekitar.Jadilah manusia,hargailah manusia,hormatilah pendapat manusia dan berbuat baiklah pada manusia karena kita adalah MANUSIA.Musuh sebenarnya manusia bukanlah manusia itu sendiri tetapi setan yang ada di dalam manusia itu yang harus kita lawan,ingatlah bahwa perang terbesar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri.Jadilah manusia yang rahmatan lill’alamin yakni yang menjadi rahmat/berkah kebaikan seluruh umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun