Bagi penulis, ruang publik seperti media sosial ibarat etalase warung makan yang menampilkan dagangan hasil masakannya. Ada opor, mangut, tumis, sop, rendang dan lain sebagainya. Ingat, tempat menampilkan hasilnya. Bukan tempat mengolah di sana.
Sehingga jika menyadari hal ini, maka penulis di media sosial harusnya sadar. Bahwa tidak semua komentar  itu harus dibalas. Apalagi komentar yang memperdebatkan tulisan apa yang ditampilkan.Â
Lha ngapain dibalasin. Wong opormu sudah jadi. Rendangmu sudah siap saji. Tumis dan sop mu sudah siap dinikmati. Untuk apa menanggapi mereka yang mengomentari bahan-bahan masakanmu yang sudah kau yakini benar dan pantas dinikmati. Apalagi, untuk apa meladeni mereka yang mengomentari sajianmu tapi tidak membeli dan malah mencaci. Habis waktu dan energimu nanti.Â
So bagi para penulis, ingat rumus ini. Tidak semua komentar, harus kamu balas atau ladeni. Pandai-pandailah memilah mana yang perlu ditanggapi.Â
Beguti pula bagi pembaca. Semestinya tahu bahwa ruang yang sedemikian publiknya itu, adalah tempat untuk memaparkan hasil masakan milik penulis. Bukan ruang memasaknya.Â
Sudah sangat terlambat jika ingin mendebat bahan apa saja yang digunakan. Sudah sangat telat jika ingin mengarahkan bagaimana cara memasaknya agar sesuai dengan yang kamu inginkan.Â
So bagi para pembaca, ingat pula rumus ini. Pilih, beli dan telan yang sesuai dengan seleramu saja. Tinggalkan yang tidak sesuai dengan maumu dan segeralah masak sendiri di rumahmu, yang sesuai dengan lidahmu. Semudah itu.Â
Karena mendebat cara masak, bahan-bahan, atas masakan yang telah tersaji, itu sama saja dirimu sedang menunjukkan kebodohan diri.Â
Berapa banyak warung makan yang akan kau datangi dan ceramahi agar memasak sesuai dengan yang kau ingini? Berapa juta masakan yang akan kau komentari? Bukankah lebih baik kau pilih saja masakan yang sesuai dengan seleramu atau masak saja sendiri di rumah sesuai kesukaanmu?
Aniwe, di mana letaknya dapur bagi seorang penulis??
Dapurnya ada di alam pikiran dan jiwanya. Yang tidak dia tampilkan. Yang tidak dia tunjukkan. Tapi dia yakini, bahwa apa yang dihasilkan dari sana, adalah kebenaran versinya. Persis seperti dirimu meyakini kebenaran atas versimu sendiri. Yang berbeda tapi dirimu tetap meyakini kebenarannya.