Mohon tunggu...
Jiemi Ardian
Jiemi Ardian Mohon Tunggu... Residen Psikiatri -

Psychiatric resident, medical doctor, could be your endocannabioid, hypnotherapist, psycotherapist.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Surat Jujur untuk Tuhan

18 Februari 2013   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

*nama -nama di tulisan ini disamarkan, namun kejadian dibuat sedetil yang penulis bisa menurut kejadian aslinya.


Catatan: tulisan ini memuat “radical honesty”. Bagi yang ingin sebuah pengharapan rohani yang biasa disampaikan, saya sarankan berhenti membaca sekarang, karena hal itu tidak ada di sini. Saya menawarkan harapan di balik sebuah kejujuran realisme, itu saja. Satu lagi, saya tidak ingin menggugurkan iman satu orangpun, saya hanya menawarkan pandangan jujur terhadap realita.Yang entah dalam cara paradoksikal bagaimana, lebih mengangkat iman saya ketimbang pembohongan publik.

Rabu pagi pukul 03.15 kami terbangun dari tidur yang memang tidak nyenyak sebagai tim jaga di IGD sebuah rumah sakit. “Dek, ada pasien DSS itu di depan” kata seorang dokter triase membangunkan kami dengan agak terburu-buru, wajah pucat dan sedikit panik tergambar jelas di wajahnya. “Ini pasien rujukan dari RS. X, dirujuk kesini karna tidak ada biaya” lanjut dokter triase sambil berjalan –atau lebih tepat disebut berlari- bersama kami ke arah pasien dengan keadaan kami belum sadar penuh.

Dari kejauhan terlihat seorang anak kecil dengan kaos seragam olahraga warna coklat dan celana pendek, tergolek lemas. Sebuah botol infus menggantung dengan tetesan lambat telah terpasang di tangannya, jelas infus itu tidak akan menolong pasien Syok karena demam berdarah. “Dek, pasang infus dua jalur, berikan 1 liter cairan habiskan dalam 10 menit!” Seru residen anak sambil bergerak cepat. Dengan sigap infus kedua telah terpasang. Kamipun langsung memeras kedua botol infus untuk menghabiskan cairan secepat yang kami bisa. Sekarang kami sedang bertarung dengan waktu dan dewa kematian, kami tahu kami akan kalah, segera...

Di depan kami berdiri seorang ibu berkulit coklat, agak gemuk, dengan kaos hitam gombrong tanda kebesaran. Di bajunya tertulis “Orang percaya yang layak dipercaya”, oke saya tebak, dia pasti orang beragama. “Dok, anak saya gapapa kan, kondisinya baik kan?” Ibu ini bertanya. Sembari kami tetap melakukan tugas kami untuk mempertahankan sementara hidup anak ini, residen kami menjawab dengan kekhawatiran yang tidak bisa ditutup-tutupi “Bu, anak ibu kondisinya buruk. Sekarang dia syok, tidak sadarkan diri. Besar kemungkinan anak ibu meninggal”. Suasana menjadi hening sejenak. Dapat terdengar jelas tarikan nafas yang dalam yang dari sang ibu ketika mendengar berita ini. Kaget, sedih, takut dan penolakkan bercampur menjadi satu dalam wajah si ibu ketika kami menyampaikan fakta tragis. “Tapi kami akan tetap berusaha, Bu” tutup sang residen sebagai ungkapan penghiburan yang tidak membantu ini sambil nggloyor pergi meninggalkan kami untuk laporan kepada bos jaga.

Tinggallah ibu, beberapa perawat, anaknya yang berumur 12 tahun dan kami di sana. Sambil terus melakukan resusitasi alias usaha penyelamatan, sesekali kami bertanya pada ibu ini. “Bu, sebelumnya diperiksakan di mana?” tanya kami penasaran, karena tidak mungkin anak ini langsung jatuh ke kondisi syok tanpa didahului tanda-tanda khas demam berdarah sebelumnya, dan itu harusnya disadari oleh semua orang tua. “Seminggu yang lalu Bunga saya periksakan dok, tapi katanya dia kena cacar. Saya suruh dia istirahat tapi dia gak mau, katanya mau persiapa Ujian Kelulusan. Hari Senin ini ada bintik-bintik merah dan saya bawa lagi berobat. Katanya cacarnya sudah mau sembuh, kalo saya tau ini demam berdarah pasti saya bawa ke sini dok.” Jawab ibu yang telah berlinang air mata ini dengan nada bingung, campuran antara sedih dan merasa bersalah sekaligus marah.

Berbeda dengan kami yang bisa melakukan sesuatu, si ibu hanya bisa berkomat-kamit, tangannya terlipat di depan dadanya, seakan hendak melindungi sesuatu. Agak penasaran, saya coba dengarkan dengan seksama apa yang ibu ini sedang katakan. “Tuhan, sembuhkan Bunga, aku percaya Kau akan sembuhkan Bunga”.. JLEB!! Perkataan tadi seakan menghujam setiap sel dalam tubuh mamalia ini. Kami bahkan tidak yakin anak ini akan bisa bertahan lebih dari jam7 pagi, dan ibu ini meminta kesembuhan anaknya?? Tunggu! Ini ga logis!

Tiba-tiba pikiranku melayang ke kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika seorang anak muda yang fanatik dengan agamanya, berdiri tegak dalam sebuah Ibadah di Senayan sambil mengangkat tangannya dan menangis terisak, dengan sepenuh hati dia berdoa “Tuhan, sembuhkan aku!!”. Dia sadar ada benjolan di bagian tubuhnya yang sejak lama mengganggu, dan terus membesar –setidaknya menurut pengamatannya-, dia tau dan dia takut. Singkat cerita anak ini berdoa di ibadah tersebut dan AVRA KEDAVRA!! Benjolan tersebut hilang. Anak itu adalah saya sendiri...

Sambil tetap melakukan yang bisa kami lakukan, pikiran manusia ini terbang terbentur langit-langit. Apakah Tuhan akan melakukan keajaiban kali ini? Apakah Tuhan akan menyembuhkannya secara ajaib? “Ibu miskin, kumuh, tak berpendidikan ini tak punya harapan lain selain Kau saja! Apakah Kau akan bertindak menyelamatkan Bunga?” Si peragu kali ini ikut berdoa dan berharap dalam hatinya. “Tuhan, aku ingin, aku ingin Bunga disembuhkan!” dengan sedikit menahan air mata, kali ini dia berdoa dengan mengumpulkan serpihan sisa iman masa mudanya dan berharap sesuatu akan terjadi.

Tulisan dari baju si ibu “Orang percaya yang layak dipercaya”, oke sekarang aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini. Tuhan akan lakukan sesuatu bagi Bunga, seperti Dia melakukan sesuatu padaku. Tiga jam lebih Tomas abad 21 berdoa berharap sesuatu terjadi... dan...

Aku berharap cerita tadi berakhir gembira dengan Bunga tiba-tiba bangun dan mengatakan “Terima kasih Tuhan”, atau setidaknya resusitasi kami berhasil dan dia selamat, atau setidaknya kondisinya menjadi stabil tanpa perburukan dan kami berhasil memasukkannya ke ICU. Tapi... tidak demikian kenyataannya! Tidak satupun! Tidak ada keajaiban yang nyata, tidak ada petir menggelegar dan malaikat turun, tidak ada perkembangan dari prosedur medis, bahkan di wajah ibu ini jelas tidak tergambar kedamaian, tidak ada sesuatu yang bahkan terlihat sebagai campur tangan Tuhan, tidak sama sekali, Tuhan seakan tidak ada! Bunga dinyatakan meninggal pukul 07.10 WIB setelah pertolongan yang memadai. Hanya berbeda 10 menit dari target perkiraan waktu kematian. Tuhan, di mana DiriMu?

Gosh! Aku marah! Tuhan di mana diriMu yang katanya perduli? Seandainya saja Kau campur tangan, Kau bisa saja menyembuhkannya secara ajaib! Atau paling tidak Kau mengijinkan resusitasi kami berhasil! Atau paling tidak Kau bisa mempertahankan kondisinya agar tidak semakin parah! Paling tidak Kau bisa buat kecurigaan ibunya tentang demam berdarah diterima oleh sang dokter pertama dan langsung dirujuk! Atau jika tidak bisa, kenapa Kau tidak bawa Bunga sedikit lebih cepat ke IGD! Atau paling tidak lakukan sesuatu! Tuhan, aku tidak melihat apapun. Semua berjalan terlalu alami, sangat alami, seakan tidak ada campur tanganMu disana. Di mana diriMu! Di mana air surgawi yang menyembuhkan itu? Di mana bumi yang tergoncang dan terbelah itu? Di mana keajaiban yang pernah aku dengar? Di manakah diriMu?

“Maut dimanakah sengatmu?” ?? Aku melihatnya dengan jelas di depan mataku!! Begitu kejam dan jelas. Tidak perduli seberapa keras manusia menghadangnya, dia menerobos berderap pelan namun pasti. Langkah kaki tegasnya tergambar jelas dari kepedihan si Ibu yang menyesal “Kenapa aku  ga bawa Bunga  dari dulu ke Rumah Sakit! Katanya ini cuma cacar!Kata dokter ini cuma cacar!”

Iman..  Itu jawaban orang hipokrit yang tidak melihat konteks. Apa yang kurang dari iman ibu ini? Apa yang kurang dari harapannya? Memangnya pada siapa lagi ibu ini akan berharap? Dia tidak punya apapun. Bunga baru 12 tahun! Apa yang salah? Siapa yang mengajarkan jika seseorang tidak disembuhkan maka dia kurang beriman?  Aku tidak tahu iman atau bukan asalan Tuhan memberikan Mujizat pada si A dan tidak si B. Jujur aku tidak tahu, Tuhan aku tidak tahu.

Kenapa Tuhan memilih untuk melakukan keajaiban atas pemuda yang memiliki iman yoyo ini? Kenapa bukan memilih ibu yang jelas pasti hanya menaruh harapan pada Tuhan! Ya, dia pasti tidak memiliki tempat lain untuk berharap. Jelas iman ibu itu lebih besar dari si fanatik bodoh yang berdiri di Senayan.  Jujur aku tidak tahu, Tuhan aku tidak tahu.

Tuhan mengambil Bunga karna Tuhan lebih mengasihi Bunga? Hey Siapa dirimu mengambil kesimpulan demikian! Tuhan bicara padamu? Jika kau bilang Tuhan bicara padaMu, lebih baik pergilah ke klinik jiwa, Anda sudah mengalami positive auditory hallucionation, tanda-tanda skizofrenia.  Kenapa menggunakan mekanisme pembelaan ego rasionalisasi dalam menghadapi realita? Kenyataannya, tidak ada yang tahu kenapa Bunga pergi! Kenapa orang suci bisa tahu dan mengambil kesimpulan sepihak! Aku tidak tahu kenapa Tuhan mengijinkan Bunga pergi. Jujur aku tidak tahu, Tuhan aku tidak tahu.

Aku sangat jarang (jari di satu tanganku masih lebih untuk menggambarkannya) melihat doa bekerja seperti yang orang suci katakan. Aku tidak melihat mujizat terjadi seperti yang orang gembar-gemborkan. Aku tidak melihat Tuhan bekerja dalam cara hingar bingar seperti yang dikatakan banyak orang. Aku tidak melihat karya Tuhan ajaib seperti cerita dewa-dewi dalam mitologi Yunani. Tuhan, Kau bekerja dengan cara yang terlalu alami,Tuhan, Kau seakan tidak ada!

Aku percaya keajaiban masih ada sampai hari ini, tapi tak bisa dipungkiri angka prevalensinya mendekati (atau dalam bahasa matematika “limit”) nol. Aku percaya Tuhan ada, tapi seperti Bertrand Russel, ateis paling terkenal di zamannya katakan, “Kalau aku ada di depan Tuhan, aku akan berkata: Hey,Kau tidak menunjukkan diriMu terlalu jelas”. Ya, pendapat Russel benar, Tuhan nampak tidak terlalu nyata. Seandainya Dia nampak nyata, lalu, semua ateis akan percaya padaNya dan semua orang akan tunduk karna ketakutan, lalu sejarah tirani besar akan terulang lagi, dalam skala yang jauh lebih mengerikan. Tunduk yang diatur oleh kekuasaan. Jelas bukan ini yang Tuhan inginkan.

Aku tahu Tuhan itu baik, tapi apa alasan kejahatan tetap ada? Aku tidak tahu. Aku tahu Tuhan itu baik, tapi kenapa anak tak bersalah ini mati dengan cara mengenaskan? Aku tidak tahu. Aku tahu Tuhan itu baik, tapi kenapa hal buruk menimpa orang benar sama mengerikannya dengan orang jahat? Apakah tidak ada beda antara keduanya? Aku tidak tahu. Tuhanpun tidak pernah menyebutkannya, aku tidak akan mengambil kesimpulan arogan tentang Tuhan. Aku belum mengenal siapa Tuhan, dan aku tidak mau bertindak sok tahu tentang semua alasan Dia bertindak.

Kenapa ibu ini tetap bisa berdoa di tengah kondisi anaknya yang sekarat? Kenapa si ibu tetap percaya? Ini adalah tindakan bodoh! Seperti anak-anak! Namun itulah jawabannya, dia percaya seperti anak-anak. Jauh di dalam jiwa skeptis ini aku ingin memiliki kepercayaan seperti itu, iman yang percaya bahkan sebelum itu terjadi. Iman anak-anak yang hanya bisa muncul dari hubungan dewasa. Tapi bagaimana harusnya reaksi si ibu? Kematian anaknya lebih seperti penghianatan ketimbang penyertaan. Tuhan yang hidup dan baik itu harusnya menolong, setidaknya melakukan  sesuatu. Kenapa Dia tidak bicara atau bertindak dengan cara yang lebih jelas? Kenapa Dia menggunakan bahasa yang bisa saja salah diterjemahkan? Air mengalir, angin berhembus, ranting yang bergesekan, bahasa macam apa ini?

Represi emosi dan denial memang banyak kutemukan dalam tindakan rekan rohaniku (terutama ketika krisis), tapi aku sudah bosan dengan aksi rohani tradisional ini. Waktunya memunculkan ke permukaan apa yang sebenarnya kami, manusia, rasakan. Tuhan, aku tahu kau pernah merasakannya, dan bukan masalah jika kami mengatakannya. Permasalahannya justru, apakah kami cukup terbuka dan jujur untuk mengatakannya padaMu? Apakah kami cukup percaya padaMu untuk mengatakan apa yang kami rasakan? Atau kami hanya seperti remaja labil yang lari menjauhi Ayahnya, padahal sang Ayah sangat ingin mendengar keluh kesah depresif tak beralasan dari anak labil ini?Atau menjadi pembohong yang terdoktrinasi aksi rohani tradisional? Jenis terakhir jelas bukan iman anak-anak tanda dewasa. Jenis terakhir memanfaatkan aksi superioritas atas nama Tuhan dan agama yang jika ditelusuri lebih jauh, para pengikutnya akan memiliki kesamaan mekanisme pertahanan ego: denial.

Psikologi modern mengajarkan, karena manusia tidak dapat sepenuhnya menghapus perasaan, maka ungkapkan saja. Kurasa Tuhan juga sependapat.


Keraguan adalah tulang belulang yang disembunyikan dalam lemari iman, mirip aib atau dosa yang harus ditutup-tutupi. Dan saya tidak tahu cara yang lebih baik untuk menangani tulang belulang, daripada membawanya ke tempat terbuka dan menyingkapkannya sebagaimana adanya; bukan sesuatu yang disembunyikan atau ditakuti, tetapi sebagai struktur keras di mana jaringan hidup bisat tumbuh -Philip Yancey-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun