Mengisi akhir tahun 2014 yang dalam hitungan jam akan berakhir ini, mari kita renungi satu hal yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari, Kufur vs Syukur, Kafir vs Syakir. Semoga bermanfaat. :)
Agaknya sudah sangat sering kita dengar ayat Al-Quran yang satu ini, baik di ceramah tingkat hajatan kampung, tausyiah dalam liqo, dauroh kampus, maupun tingkat kedai kopi yg kebetulan ada ustadz dadakan di sana.. :D.. let's check it out.
"La in syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna 'adzaabii la syadiid"
yang terjemahnya kurang lebih
"(sungguh) jika kamu bersyukur atas (nikmat) yang diberikanNya maka (sungguh) akan ditambahkan (nikmat) kepadamu, namun (sungguh) jika kamu kufur (nikmat) maka sesungguhnya adzabKu (sungguh) pedih"
Syukur (syukron/berterima kasih) adalah kondisi di mana kita menerima atau menempatkan suatu hal (nikmat) dengan sumringah, penuh rasa terima kasih, sukacita, senang hati, berbahagia. Lalu jika kita gunakan kaidah nahwu shorof -> syakaro yasykuru ... fahuwa syaakir, maka kita dapati actor term nya bahwa pelakunya, atau orang yang sedang dalam kondisi ber"Syukur" itu disebut Syakir.
Sedangkan Kufur (cover/menutupi) adalah kondisi di mana kita menempatkan suatu hal (nikmat) dengan biasa-biasa saja, tanpa senang hati, tanpa sumringah, tanpa berbahagia, dan cenderung menutupinya (covering). Lalu jika kita gunakan kaidah nahwu shorof -> kafaro yakfuru ... fahuwa kaafir, maka kita dapati actor term nya bahwa pelakunya, atau orang yang sedang dalam kondisi ber"Kufur" itu disebut Kaafir.
Tampak sekali blak-blakan-nya Allah Ta'ala dalam ayat tersebut memberi kita gambaran dua kondisi yang saling bertentangan (vice versa), yaitu "Syukur" vs "Kufur" tadi. Artinya saat seseorang dalam kondisi tidak syukur maka artinya ia berada dalam kondisi kufur, begitu juga sebaliknya saat seseorang dalam kondisi syukur maka artinya ia berada dalam kondisi tidak kufur.
Selanjutnya, jika kita titen (perhatian-red), maka akan kita dapati banyak sekali ayat Al-Quran yang berkisar tentang "Kufur" maupun "Kafir". Saat kita sampai pada ayat-ayat tersebut pandanglah diri sendiri, karena sangat bisa jadi yang "ditunjuk kafir" oleh Allah Ta'ala melalui ayat tersebut adalah diri kita sendiri.
Sebab menjadi orang kafir bukanlah komoditas orang non-muslim yang jamak disalahartikan hingga kini, namun menjadi orang kafir juga merujuk kaum muslimin itu sendiri, iya, kita pun dapat menjadi orang kafir bahkan dalam status "KTP Islam", yaitu saat kita tidak bersyukur dalam setiap pemberian dariNya..
# inspired by : (alquranul kariim, m.h. ainun nadjib, aa gym) #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H