Mohon tunggu...
Kangmas Hejis
Kangmas Hejis Mohon Tunggu... lainnya -

Pembelajar saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog Bangsa Rupiah

8 Januari 2014   08:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389144189922162355

[caption id="attachment_314530" align="alignnone" width="570" caption="Sebagian dari bentuk uang rupiah (foto: www.chinatownstories.com)"][/caption]

Kami bangsa Rupiah. Kami adalah bangsa sebuah negara. Nama kami Rupiah, tinggal di rumah mepet sawah dengan jalan yang susah sampai tempat yang mewah dengan interior indah dan terletak di jalan yang dicari mudah.

Kami terdiri dari sebelas suku: 50, 100, 200, 500, 1.000, 2 ribu, 5 ribu, 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, dan 100 ribu. Tetapi, kami mengabdi manusia yang berkasta-kasta: kasta miskin, kasta menengah, kasta kaya.

Kami ditugaskan mengawal manusia sesuai kasta. Suku nomor 1 sampai nomor 6 mengawal kasta miskin. Suku nomor 7 sampai nomor 9 mengawal kasta menengah. Dan, suku nomor 10 dan 11 mengawal kasta kaya. Karena itu, kami turut menjadi berkasta-kasta pula: uang kasta miskin, uang kasta menengah, uang kasta kaya.

Kami bangsa Rupiah. Sejatinya kehendak hati kami ingin sederajat. Semua suku memiliki harkat dan martabat yang sama. Keadilan juga kami inginkan dalam hal cinta, rumah, dan transaksi barang dan jasa.

Kadang hati menangis melihat saudara kami lain kasta. Ada saudara kami yang seumur-umur berada di tangan yang kumuh dan kotor. Rumah mereka beratap ilalang, berdinding bambu. Bepergian dari satu lingkungan yang kumuh ke lingkungan yang kumuh lainnya. Terus-menerus begitu.

Saudara kami kasta miskin ikut-ikutan jadi miskin. Mereka sering ikut menangis di rumah majikan yang dikawalnya. Majikan menangis karena kami tidak cukup untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Kurang untuk membeli gas. Kurang untuk membayar denda kepada petugas razia.

Sementara kami kasta kaya berfoya-foya. Berwisata dari kondominium ke mansion, dari kafe hingga diskotik, dan dari ruangan berpendingin ke tempat wisata sejuk berangin.

Mata kami selalu dimanjakan. Bikini, tuxedo, dasi bermerek. Mobil kinclong mencorong. Atau, lobi di padang golf dan hotel berbintang kehidupan kami sehari-hari. Tanpa kerja tanpa keringat. Sudah begitu, hidup nyaman maksimum dengan dengan rekah senyum dan minum-minum.

Kekuasaan kami paling absolut di antara bangsa-bangsa yang ada. Kami bertetangga dengan bangsa moral, bangsa agama, bangsa jelata. Bangsa moral bekerja keras hingga mulutnya berbusa-busa. Bangsa agama tekun menggertak dengan ancaman neraka. Bangsa jelata naif meminta-minta. Namun pekerjaan mereka sebatas kata-kata. Tanpa nikmat dan sahwat. Tanpa keindahan dan kemuliaan.

Kami berkuasa atas kehendak manusia. Mereka menyembah-nyembah, mengiba-iba, dan memaksa-maksa untuk merayu kami. Barang siapa berhasil kami akan mengabdi kepadanya.

Kriteria siapa yang berhasil ditentukan manusia. Bisa kuasa, bisa wanita, bisa barang dan jasa. Banyak adalah martabat. Sedikit adalah musibah. Ini yang menjadikan bangsa moral, bangsa agama, dan bangsa jelata menjadi iri. Namun, majikan kami tak peduli. Kami pun terpaksa tak peduli. Tidak kami ambil hati.

Sering kami tertawa geli melihat para majikan kasta kaya kami. Di rumah setia, di jalan banyak selingkuhan karena kami kuat mengawal. Di rumah rajin ibadah, di luar mengghibah dan bermewah-mewah.

Kami bangsa Rupiah. Sangat akrab dengan mark up proyek, amplop putih berjiwa hitam, brankas kokoh, dan tas hermes. Kami sudah tak peduli karena nurani sudah mati.

Dalam praktik kami diatur manusia secara pribadi. Dalam aturan kami diatur oleh bank sentral dan menteri perekonomian. Merekalah yang mengganti baju kami, nominal kami, peredaran, dan nilai tukar.

Di tengah kemewahan hidup kasta kaya, kami sebetulnya inferior. Di rumah kami berjaya, di luar negeri kami pecundang. Kami tak bisa melancong keluar negeri, tak bisa bertransaksi untuk barang impor. Tiap tahun nilai intrinsik kami merosot terseok-seok. Kami kalah total dengan bangsa dolar, bangsa euro, bahkan bangsa ringgit. Kami cuma jago kandang. Yang hanya menang di rumah saja.

Bila majikan kasta kaya kami melancong ke luar negeri, kami hanya diwakili dengan kartu kredit, rekening, atau bukti transaksi. Kami bangsa Rupiah juga ingin berjaya di luar sana. Namun, apa daya para majikan kami terlena dan terlalu terlena dengan posisi-posisi di tempatnya. Meskipun otaknya katanya diperas dan diputar keras.*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun