Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, H.M. Rasyid, berencana untuk mengadakan tes keperawanan bagi calon siswa SMA sederajat (Tempo.co, 20/08/2013). Rencana Kepala Dinas itu dinilai sebagai ide yang brilyan oleh Kepala Desa Sukarmakmur. “Ini dia, ide yang sudah lama saya tungu-tunggu. Ide yang brilyan,” katanya dengan bergumam sendiri. Ini salah satu cara paling jitu untuk mencegah para gadis menjaga kesuciannya hingga sampai pada jenjang perkawinan, begitu menurut Pak Kades selanjutnya.
Kepala Desa ini memang dikenal sebagai tokoh desa yang memperhatikan nilai-nilai luhur tradisi nenek-moyang. Dia sering mengeluhkan betapa bebas pergaulan muda-mudi zaman sekarang. Di koran dan televisi berita tentang pergaulan bebas dan seks bebas terlalu sering didengarnya.
Awalnya ada sebersit keraguan apakah hal ini tidak menimbulkan polemik bahkan konflik bila dibicarakan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Jangan-jangan nanti masyarakat menjadi heboh dan menuduh Pak Kades mengada-ada. Dampak paling parah adalah masyarakat berdemo untuk menjatuhkan dirinya. Kalau sudah begitu, ia akan menanggung malu dan harga dirinya akan jatuh.
Tetapi itu hanya pikiran-pikiran yang belum diyakininya dengan mantap. Justru keyakinannya lebih besar pada pikirannya bahwa masyarakat akan mendukung rencananya. Masyarakat mana yang tidak mau disebut masyarakat yang religius, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Demikian, pendapatnya.
Keyakinannya bertambah kuat ketika hari ini ia membaca Kompas.com yang menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Jawa Timur, mendorong pemerintah untuk membuat undang-undang berkaitan dengan tes keperawanan bagi calon siswa untuk masuk sekolah (Kompas.com 22/08/2013)
Tanpa pikir panjang dipanggilnya Carik Desa (Sekretaris Desa) supaya mengkondisikan rapat besok pagi untuk menggelar pertemuan antar-tokoh desa. Pak Kades memberikan instruksi agar semua unsur tokoh masyarakat dan pemuda diundang. Lalu disusunlah daftar nama yang akan diundang pada pertemuan besok pagi. Ada Pakde Durno, Mang Bloneh, Bu Sawiyah, Mugeni, saya sendiri (Mas Jeprut), dan beberapa orang lainnya.
Sesuai undangan, rapat dimulai pukul 09:00 WIB dan undangan pun belum pada datang. Baru setelah pukul setengah sepuluhan satu demi satu undangan hadir. Pakde Durno yang datang sendirian hadir mengenakan jas hitam dipadu dengan celana warna krem. Itu membuatnya kelihatan lebih gagah 30% daripada biasanya.
Tidak ketinggalan Mang Bloneh yang juga mengenakan pakaian rapi, atasannya jas lengkap dengan dasinya. Jadi, Pakde Durno dan Mang Bloneh sama-sama memakai jas. Cuma ada bedanya. Kalau Pakde memakai jas tanpa dasi dengan celana krem, Mang Bloneh memakai jas pakai dasi yang panjangnya hampir mencapi lutut tapi tanpa baju melainkan kaos oblong. Bawahan yang dipakai Mang Bloneh adalah sarung merah kesayangannya.
Begitu Mang Bloneh datang dengan dress-code seperti itu hampir semua yang sudah hadir duluan meledak tertawanya. Namun, semuanya menahan diri. Hanya Mas Jeprut yang tidak bisa menahan tertawa…. Whahaha… Mas Jeprut terpingkal-pingkal sambil lari ngibrit ke samping balai desa. Mungkin Mas Jeprut takut menyinggung perasaan Mang Bloneh atau mau buang air, Mas Jeprut sendiri juga kurang jelas.
“Ada apa ini, begitu saya datang kok jadi heboh?” tanya Mang Bloneh dengan ekspresi bingung.
“Gak ada apa-apa kok, Mang… hehe.. Cuma agak kagok juga nglihat dasinya Mamang kok ngglambreh, panjang banget.”Mugeno yang jaraknya paling dekat dengannya menjawab sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Kata mbaknya yang jual sih model kayak gini sedang ngetren… heu heu..” kata Mang Bloneh dengan aroma bangga lalu bersalaman satu per satu dengan undangan yang lain.
“Saya juga heran lho, Mang. Pakai jas lengkap berdasi tapi bajunya kaos oblong… wkwkwk…” ujar Mas Jeprut masih kegelian.
“Huluh, kamu bisa aja, Prut. Nih uang, sana beli permen dulu!” Mang Bloneh memberikan uang pecahan 5 ribuan menyuruh Mas Jeprut beli permen.
Tidak lama kemudian Pak Carik segera mempersilakan masuk para undangan yang berada di luar. Setelah semuanya duduk di kursi balai desa, Pak Carik angkat bicara berbasa-basi diteruskan oleh Pak Kades yang langsung membuka rapat persiapan pembentukan panitia tes keperawanan tingkat desa.
“Selamat pagi menjelang siang, Bapak-Ibu hadirin yang saya hormati,” Pak Kades mulai berpidato mirip gaya penyiar radio partikelir.
“Hari ini kami mengundang Bapak-Ibu untuk membicarakan rencana kami untuk melakukan tes keperawanan kepada semua warga yang belum menikah di desa kita ini. Hal ini kita lakukan mengingat akhir-akhir ini kondisi negara pada umumnya dan kondisi desa kita pada khususnya mengalami krisis nilai.
Kejahatan merebak di mana-mana, korupsi, perampokan, pembunuhan, perkosaan, tawuran, penyerangan, dan penipuan menjadi berita santapan kita sehari-hari. Demikian pula pergaulan bebas dan seks bebas sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Kebobrokan negara dipengaruhi oleh kebobrokan di tingkat provinsi. Kebobrokan provinsi disumbang oleh kebobrokan tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa yang akhirnya bermuara pada kebobrokan keluarga.
Lalu, apa penyebab utama kebobrokan keluarga? Tidak lain dan tidak bukan disebabkan karena para perempuan yang belum menikah sudah tidak perawan lagi… Oleh sebab itu, kita perlu menindak-lanjuti kondisi ini dengan melakukan tes keperawanan. Tujuannya adalah untuk mengatasi carut-marutnya negara kita…”
Ruangan rapat hening sejenak, tetapi ketika kalimat terakhir diucapkan oleh Pak Kades karuan saja timbul hujan interupsi. Suasana agak memanas dan gaduh. Tangan-tangan beberapa peserta rapat bermunculan ke atas tanda minta waktu berbicara. Peserta lain saling berbicara dengan orang di sebelah tempat duduknya, menanggapi pidato Pak Kades.
Tampak sebagian peserta rapat mengangguk-angguk mendukung pemikiran dan Pak Kades-nya. Sebagian lagi memprotes pernyataan Pak Kades.
Setelah bersitegang beberapa waktu, kesempatan pertama diberikan kepada Mang Bloneh untuk menyampaikan pendapatnya. Entah mengapa yang diberi giliran pertama Mang Bloneh. Barangkali karena pakaiannya yang menarik perhatian hadirin, yaitu kaos oblong berdasi dan dilapisi jas. Atau mungkin karena ia orang kaya di desa itu. Entahlah.
Kata Mang Bloneh,
“Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Pak Kades. Keperawanan adalah simbol kesucian jiwa. Bila semua perempuan masih perawan sampai ia menikah, maka masyarakat akan damai, tenteram, adil, makmur, dan bahagia untuk selama-lamanya. Tapi bila perempuan banyak yang sudah tidak perawan, jangan harap negara ini akan baik…”
Semua hadirin terdiam mendengarkan interupsi Mang Bloneh. Soalnya Mang Bloneh orang kaya. Memang benar, kalau orang kaya yang berbicara pasti didengarkan. Tidak peduli betapa ngawurnya isi pembicaraannya. Ini berdasarkan pengalaman Mas Jeprut pribadi. Itulah sebabnya bila orang kaya bertemu dengan orang kaya lalu terjadi pembicaraan, pasti tidak akan ada yang mendengarkan. Masing-masing orang kaya itu akan berbicara sendiri-sendiri. Terserah Anda mau percaya atau tidak. Kalau sekarang Anda tidak percaya, silakan saja. Tapi, nanti kalau Mas Jeprut sudah kaya, Mas Jeprut yakin Anda akan segera percaya tanpa syarat.* (Bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H