Mohon tunggu...
Kangmas Hejis
Kangmas Hejis Mohon Tunggu... lainnya -

Pembelajar saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

KKN dalam Penerimaan PNS Memang Ada Celah dari Sononya

30 September 2013   14:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:11 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun pemerintah membuka lowongan untuk merekrut pegawai negeri. Setiap kali itu pula terdengar kabar adanya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Hukum ekonomi juga merambah ke urusan rekrutmen pegawai negeri. Hukum ekonomi mengatakan, jika permintaan bertambah dan persediaan komoditas tetap, maka harga komoditas akan naik. Harga juga akan naik, jika permintaan bertambah dan persediaan komoditas bertambah tetapi pertambahannya lebih kecil daripada permintaan.

Sebenarnya kursi yang disediakan untuk mengisi kursi pegawai negeri yang diperlukan tidak untuk dijual. Rekrutmen pegawai negeri bukanlah komoditas yang diperjual-belikan. Pegawai negeri adalah perangkat untuk menjalankan tujuan negara yang intinya berfungsi melayani warga negara. Namun, karena mental sebagian bangsa ini masih memegang prinsip apa pun bisa dibeli, maka rekrutmen itu menjadi komoditas dagangan juga.

Pegawai negeri sejatinya adalah pekerjaan yang menuntut orang-orang yang mengisinya untuk bersifat melayani masyarakat (public service) sehingga dalam nomenklatur ilmu administrasi publik, mereka disebut civil servant (pelayan masyarakat). Sehingga, menjadi hal yang absurd bila jabatan ini diperjual-belikan.

Faktanya pegawai negeri sipil (PNS) merupakan magnet tersendiri bagi pencari kerja. Sebagian besar lulusan sekolah atau perguruan tinggi mengincar jabatan PNS saat mereka mencari pekerjaan. Mereka melihat para PNS hidup dengan berkecukupan. Bahkan PNS yang bekerja di bagian tertentu, misalnya di dinas pendapatan, pajak, keuangan, dan lahan-lahan basah lainnya pendapatannya melebihi rata-rata penduduk. Mereka adalah orang-orang kaya.

Dulu ada anggapan, menjadi PNS memang gajinya relatif kecil tetapi ceperannya besar, lebih besar daripada gaji resminya. Pekerjaannya bisa disambi dengan pekerjaan lain. Bekerja ala kadarnya, namun penghasilannya sudah pasti. Bermalas-malasan pun tidak menjadi masalah karena untuk memecat PNS prosedurnya rumit. Setelah memasuki hari tua, mereka mendapatkan pensiun.

Ini berbeda dengan bekerja di sektor swasta yang tingkat keamanan dari pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi. Dalam volume kerja pun, di swasta cukup tinggi, harus rajin, disiplin waktu dan tenaga. Bila sedikit melanggar aturan kerja, pekerja swasta akan mendapatkan peringatan. Banyak pekerja swasta dipecat tanpa mendapatkan pensiun. Hati menjadi tidak tenteram, masa depan pun samar-samar.

Kini anggapan itu berubah. Namun perubahan anggapan terhadap PNS tidak membaik, malah meneguhkan anggapan lama. Apa lagi dengan semakin banyaknya proyek pemerintah yang berarti akan semakin banyak pula ceperan dari proyek-proyek tersebut.

Demikianlah, akhirnya kursi PNS pun menjadi komoditas. Banyak orang berlomba-lomba memasuki pasar kerja PNS. Meluapnya peminat untuk menjadi PNS mengakibatkan persaingan sangat ketat. Lalu, diambillah jalan pintas: berani membayar kepada siapa pun yang dapat membantu mewujudkan keinginan menjadi PNS.

Cerita ini bukan omong kosong. Setiap tahun terdengar berita, untuk menjadi PNS orang harus berani membayar puluhan juta. Rentangnya berbeda-beda untuk setiap daerah. Lulusan S1 misalnya, dipatok tarif Rp 50 jutaan sampai ratusan juta.

Mekanisme penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) yang baru sebetulnya untuk menjamin tidak terjadi KKN. Pada dasarnya formasi PNS ditentukan oleh usulan dari daerah ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat menentukan berapa jatah masing-masing daerah untuk setiap tahun berjalan. Rekrutmen diselenggarakan oleh pihak ketiga yang biasanya perguruan tinggi negeri melalui lelang.

Daerah tidak dapat memutuskan siapa yang akan diterima menjadi PNS. Soal-soal ujian dibuat dan dikoreksi oleh perguruan tinggi, termasuk siapa yang dinyatakan lolos administrasi dan lulus seleksi. Nama-nama yang lulus menjadi CPNS dikirim ke daerah-daerah untuk selanjutnya yang lulus melengkapi berkas administrasi.

Sayangnya, dalam praktik ada celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memasukkan orang-orang yang berani membayar tinggi. Celahnya ada pada saat penentuan keputusan lelang penentuan pihak yang berhak melakukan rekrutmen. Biasanya di situ terjadi tawar-menawar antara perekrut CPNS dan daerah. Perekrut yang berani menawarkan jatah calon pegawai yang tertinggi akan mendapatkan peluang terbesar untuk menjadi perekrut. Jatah calon pegawai itulah yang kemudian dijual ke publik.

Perekrut membagi jatah calon pegawai untuk perekrut sendiri dan untuk daerah. Jumlahnya akan tergantung dari hasil negosiasi antara perekrut dan daerah. Misalnya, formasi calon pegawai di sebuah daerah sesuai jatah yang ditentukan oleh pemerintah pusat sejumlah 300 kursi. Formasi itu dapat saja dibagi jatah perekrut 200 kursi, daerah 100 kursi.

Jatah inilah yang menjadi keuntungan pihak perekrut, bukan keuntungan dari jasa rekrutmen. Karena, menurut sumber yang dapat dipercaya, biaya rekrutmen pegawai untuk sebuah daerah (kabupaten/kota) hanya sekitar Rp 25 juta. Jumlah ini tentu hanya cukup untuk pembuatan soal, koreksi, perjalanan, akomodasi utusan perekrut, dan pengumuman hasil seleksi.

Keuntungan yang diperoleh perekrut setiap kali ada rekrutmen pegawai dapat mencapai miliaran rupiah karena biasanya perekrut mampu memenangkan lelang pengadaan pegawai untuk beberapa provinsi, kabupaten, atau kota.

Jatah calon pegawai yang sudah disepakati tersebut lalu dijual. Jadi, penjualnya ada dua pihak, yakni jualan dari perekrut dan jualan dari daerah. Cara menjualnya adalah dengan mendekati langsung pada para pencari kerja melalui orang-orang yang dipercaya yang sebut saja jabatannya calo.

Tindakan calo kepada pencari kerja adalah dengan mematok tarif tertentu. Apabila mereka berani membayar tarif itu, mereka diberi blanko jawaban ujian tertulis. Mereka hanya diminta menuliskan nama dan nomor ujian CPNS sedangkan jawabannya akan diisi oleh calo tersebut yang merupakan perpanjangan tangan dari perekrut CPNS. Selain itu, pencari kerja dimintai fotokopi kartu tes ujian dan identitas.

Selanjutnya pencari kerja membayar tunai tarif yang telah disepakati. Pembayarannya dapat dilakukan secara tunai atau melalui transfer bank. Sebenarnya perekrut resmi mematok tarif Rp 10 juta kepada calo. Oleh calo tarif ini dapat dinaikkan sesuka hatinya, ada yang Rp 50 juta, Rp 60 juta, atau lebih tergantung posisi yang akan dimasuki. Untuk posisi guru tarifnya di atas Rp 50 juta, sedikit lebih tinggi daripada posisi lainnya yang berbeda-beda sesuai kehendak calo dan kondisi daerah.

Cerita ini disampaikan oleh sebuah sumber yang mencari orderan dan menawarkan peluang kepada penulis. Semua itu berjalan hanya di daerah tertentu yang perekrut dan daerahnya sama-sama mencari peluang dari pengadaan calon pegawai. Semua bisa terjadi bila daerah dan perekrut mengadakan kesepakatan. Mungkin banyak daerah-daerah yang tidak mau mengambil jalan seperti itu yang kepala daerahnya ingin agar rekrutmen pegawai bersih dari KKN.

Cerita ini terjadi beberapa tahun silam dan dapat dianggap isapan jempol, tetapi dapat pula dianggap cerita yang nyata. Mungkin sekarang telah ada tekad yang kuat yang baik dari para penentu kebijakan, sehingga pengadaan pegawai bersih dari KKN.

Di luar itu, ada pula calo spekulatif yang tidak memiliki jaminan apa pun, namun mencoba mencari mangsa dengan berspekulasi. Caranya adalah mereka bertindak seolah-olah merupakan pihak yang dapat menentukan seseorang diterima menjadi CPNS dengan meminta sejumlah uang. Setelah mendapatkan uang mereka tidak melakukan apa pun yang berhubungan dengan penerimaan calon pegawai.

Mereka hanya menunggu pengumuman siapa saja yang lulus dan diterima sebagai CPNS. Bila beruntung, mereka yang dimintai uangnya akan lulus dan sang calo spekulatif ini mendapatkan uang ratusan juta. Padahal, kelulusannya bukan karena usaha sang calo melainkan karena kemampuan sendiri dari pelamar kerja atau nasib baik pelamar.

Jadi, bagi pelamar kerja sebaiknya tidak perlu memercayai siapa pun yang menyatakan sanggup mewujudkan keinginannya untuk menjadi CPNS yang meminta uang puluhan juta atau ratusan juta. Lagi pula, bukankah uang ratusan juta yang digunakan untuk melicinkan jalan menjadi CPNS itu akan lebih baik dijadikan modal usaha daripada untuk hal yang tidak jelas?

Kalau pun orang yang mau membayar diterima menjadi CPNS, maka penghasilannya seumur hidup akan dipertanyakan kehalalannya karena menempuh cara yang tidak halal. Apa lagi jika mereka tidak diterima, maka kerugiannya dobel-dobel. Tetapi semuanya terserah saja pilihan masing-masing.*** [Kangmas Hejis]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun