Mohon tunggu...
Catur Wibawa
Catur Wibawa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

yang pernah terlepas dari tangan diary --pauluscatur.com--

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Danti Kukulwati

28 Februari 2012   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:49 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[1]Ini hanyalah sebuah dongeng yang biasa dikisahkan anak-anak kepada ibunya sebelum sang ibu merebahkan tubuhnya di peraduan. Dan, pelan-pelansambil memeluk boneka kesayangansang ibu hanyut dalam lelap impian.
“Kepada ibu, kau hanya menceritakan dongeng tentang negeri-negeri yang jauh dan dingin bersalju : cinderella, Thumbelina, Alice in Wonderland, Emperor’s New Suit dan Lady Mermaid. Tidak adakah dongengan indah tumbuh dari negeri tropis yang hangat, Nak?”
“Negeri-negeri jauh, salju dan laut biru selalu menyimpan eksotisme tersendiri,
Bu. Sementara negeri tropis lebih banyak menyimpan sejarah yang berdarah. Justru karena kita begitu dekat dengannya. Tetapi jangan risau, Bu, karena keindahan adalah milik semesta. Ia ada di mana-mana. Di negeri dingin bersalju atau di negeri permai dengann nyiur melambai. Bukankah wangi bunga-bunga padma juga lebih sering ditemukan di atas lumpur rawa-rawa?”
“Kalau begitu, ceritakanlah keindahan itu padaku, Nak”
Maka, demikianlah, anak itu bercerita kepada ibunya, meskipun tak yakin bahwa ceritanya mengandung keindahan seperti yang diharapkan oleh ibunya.

***

Konon, pada zaman ini ada seorang gadis yang mencintai wajahnya sendiri. Gadis itu bernama Danti Kukulwati. Ia seorang gadis biasa—tentu saja—seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Ia bukan peri, bukan puteri atau permaisuri—seperti yang sering digambarkan dalam dongeng-dongeng Parsi—meski ia pun cantik.

Danti seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Sebagai mahasiswi, Danti cukup pintar dan rajin kuliah. Ia jarang membolos. Tetapi hari ini, Danti tidak masuk kuliah gara-gara ada jerawat tumbuh di hidungnya yang mungil. Jerawat itu berwarna merah, di tengahnya ada putih serupa nanah. Dan Danti sangat membencinya. Ia seperti sepercik noda pada susu sebelanga. Sepucuk duri pada kenyal daging wajahnya. Ia tak habis pikir bagaimana jerawat itu bisa tumbuh di sana. Padahal, ia rajin mencuci wajahnya dengan facial foam anti acne. Ia tidak pernah makan makanan berlemak dan berminyak, apalagi makan kacang yang konon dapat membuat jerawat tumbuh lebat. Pokoknya segala cara telah ia lakukan demi menghindari tumbuhnya jerawat sialan itu. toh jerawat itu datang juga. Tepat di hidungnya. Danti merasa dikhianati entah oleh siapa. Mungkin oleh tubuhnya sendiri. Ia berpaling kepada cermin dan memandangi wajahnya di seberang sana. “Aku masih begitu muda. Mungkinsekarang ini sedang cantik-cantiknya.” Danti memandangi bagian tubuhnya satu per satu. Rambutnya, seperti rambut bintang iklan samphoo: lurus, hitam dan panjang. Matanya bening, sebening air telaga tempat para pengembara membasuh muka dan melepas dahaga. Bibrnya merah, semerah manggis terbelah. Dagunya, pipinya, lentik lembut bulu matanya. Semua nyaris sempurna. “Tak dapat tiada, pemiliknya pasti seorang peri yang baru turun dari surga.” Begitulah Danti sepakat dengan kesimpulannya sendiri. Ia masih mengagumi wajahnya di depan kaca. Persis seperti Narciscus memandangi wajahnya yang mengambang di permukaan kolam dan kemudian tercebur ke dalamnya. Tapi Danti tidak tercebur ke dalam cerminnya. Ia hanya merasa getir ketika pandangnya tertumbuk pada sebutir jerawat di hidungnya. Tak adakah kecantikan yang sempurna sehingga setiap keindahan harus dibuntuti oleh bayang-bayangnya. Kecantikan selalu dibayangi ketuaan. Dan keabadian dibayangi kesementaraan. Atau Tuhan takut tergoda seandainya di atas bumi ini ada manusia yang cantik begitu rupa sampai membuatnya tak sempat memejamkan mata atau sejenak lupa mengatur peredaran planit dan gerak semesta. Danti menyadari bahwa kecantikannya tak mungkin abadi. Sungguh pun ia ingin selalu menunda perjalanan usia menuju kutub bernama tua.
“Akh, seandainya kau tidak pernah ada
..” katanya kepada jerawat, “tentu aku akan lebih bahagia. Aku akan merasa lebih berharga. Dengan percaya diri , aku akan kuliah tiap hari, duduk di bangku paling depan, mendengarkan kuliah dengan cermat dan...” Danti mengeluhkan nasibnya tapi seseorang yang di dalam kaca itu diam saja. Malah seperti ingin memalingkan muka. Danti merasa kesal. Ia ingin memecah cerminnya. Tetapi diurungkannya. Ia melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tetapi bukan untuk tidur. Di dinding tergantung sebuah jam. Detik-detik waktu terus berjalan tapi tak pernah merasa bosan dan tak perlu merasa tua. Biar pun usianya mungkin lebih purba dari semesta. Ia mencatat setiap kejadian di dunia. Dan, dengan rasa bangga sekaligus terluka, mengamati segala perubahan yang ada. Perubahantentang cara manusia memandang dirinya. Tentang cara wanita memandang kecantikannya. Danti merasa iri pada jam dinding itu atau pada waktu yang bersemayam di situ. Danti menerawang. Pandangan matanya tersebar di langit-langit kamar. Tiba-tiba telinganya menangkap suara hujan, suara burung bernyanyi atau merintih mencari persembunyian di bawah rimbun dedaunan. Suara yang begitu biasa tetapi mendadak terasa lain di telinganya. Ia baru sadar bahwa sejak menginggalkan kampungnya setahun yang lalu, ia menjadi begitu sibuk dengan kuliah, dan bukan kuliah. Di kepalanya, berjejal diktat-diktat pengetahuan. Di matanya, tergambar iklan-iklan kecantikan. Di telinganya, terdengar musik dan hingar-bingar diskotik. Dan tidak ada tempat untuk ricik hujan, desir angin, hawa dingin pegunungan, dan kicau burung di pepohonan. Suara hujan itu mengantarkannya pada sebuah kenangan saat ia masih kanak-kanak dan suka bermain di bawah hujan. Mendengarkan bunyi ‘tik-tik-tik’di atas genting. Atau, berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil kedua tangan berusaha menangkap tetes-tetes hujan. Dan ibu menanti di depan pintu dengan segenap amarah. Lalu meluncurlah berbagai nasihat dan ceramah bahwa bermain hujan dapat menyebabkan demam, pakaian kotor dan ibu harus banyak mencuci dsb dsb.

Ibu. Tiba-tiba Danti rindu pada ibunya. Ibunya seorang perempuan desa yang sederhana, yang menganggap kecantikan fisik bukanlah hal yang utama. “kelembutan jiwa dan kehalusan budilah yang utama. Bunga-bunga boleh saja punya mahkota warna-warni yang membuatnya cantik bak peri dari negri mimpi. Tetapi, hakikat sebuah bunga terletak pada bijinya. Pun wanita. Boleh saja ia berwajah cantik, berkaki panjang, berleher jenjang, berdada besar dsb dsb, tetapi hakikat wanita ada di rahimnya. Kaena di sanalah ia mengandung dan merawat kehidupan, karena dari sanalah terpancar aura keibuan.” Begitulah suatu hari ibunya pernah berpesan. Sejenak, Danti teringat pada pesan yang pernah ia lupakan bahkan mungkin dianggapnya tak pernah ada dalam kehidupan. “Ibu perempuan terbaik yang pernah kukenal. Seutuhnya ia memiliki kriteria keibuan. Hanya saja, ia tak pernah tahu betapa menderitanya wanita yang punya jerawat di wajahnya” dan nasihat ibunya kembali terbang di udara. Ini bukanlah gejala yang patut dirisaukan. Karena ini adalah zaman ketika para ibu tak lagi berhak mendidik anak-anaknya. Pendidikan telah sepenuhnya diserahkan kepada televisi, iklan, fashion, mall dan teman-teman sebaya mereka. Karena itu, tidak taat pada orang tua bukanlah kejahatan yang harus diancam dengan hukuman apalagi sampai dituduh sebagai dosa yang ujung-ujungnya adalah neraka. Toh, anak-anak kita telah amnesia pada kosakata purba nan kadaluarsa seperti dosa, neraka dll. Pun Danti yang tadinya anak sederhana dari sebuah desa kecil yang namanya tak ada dalam peta, yang suka bermain di kali tanpa sandal dan dengan kaki korengan, kini telah manjadimahasiswi yang harus selalu tampil modis dan trendy, yang menjadi tidak percaya diri hanya karena ada jerawat di wajahnya. Sejak kapan manusia harus memuja keindahan raga? Dan kenapa wanita harus berjuang keras untuk mendapatkan kecantikan sempurna yang toh akan hancur juga. “Suatu saat, Ti,” tiba-tiba Danti mendengar lagi suara ibunya, sepeti dikabarkan oleh angin dari sebuah tempat teduh nun jauh di sana, “Kecantikan harus menyerahkan dirinya kepada usia. Kau pikir kau bisa memilih untuk tidak menjadi tua, keriput dan berwajah menyeramkan? Karena itu, Ti, tak ada artinya berjuang keras hanya untuk sesuatu yang kau tahu akan sia-sia. Bukannya ibu menyuruhmu untuk meremehkan tubuhmu. Ibu bangga punya anak gadis yang ayu rupawan dan tetap perawan sampai malam pertama pernikahan. Namun, ibu lebih bangga lagi mempunyai anak gadis yang baik hati dan berbudi luhur, yang tahu tata krama dan sopan-santun.” “Bagaimana mungkin aku—seorang wanita—tidak memperhatikan penampilan sementara banyak teman pria merasa harus selalu rapi dan wangi, harus rajin ke salon, mencukur kumis, memotong kuku, memakai parfum,..” protes Danti tetapi cukup dalam hati. Ibu tak pernah sekolah. Ia hanya berteman dengan perabot rumah tangga dan sayur-sayuran serta padi menguning di sawah. Tapi kenapa tiba-tiba ia menjadi pembela mazhab Platonis dan Augustinian yang begitu memuja jiwa. Sementara zaman telah sempurna berputar haluan. Orang-orang lebih memuja keindahan raga dan segala yang dapat disentuh dan dinikmati dengan indera. Bukankah badan juga cermin dari jiwa? Aku merawat tubuhku sebagai sebentuk penghormatan kepada hidupku. Danti seperti menemukan apologia atas perilakunya. Danti kembali menghadap cerminnya. Bayangan di seberang sana menatapnya begitu rupa sampai Danti merasa tersakiti olehnya. Tatapan itu seperti menelanjanginya, menjadikan dirinya sebuah objek. Tatapan itu tepat menghunjam ujung hidungnya tempat dimana jerawat sialan itu bertahta. Begitu juga ia bayangkan pandangan orang-orang yang nanti bertemu dengannya. Dan Danti tidak masuk kuliah selama beberapa hari. sampai jerawatnya pulih benar dan ia bisa berangkat kuliah dengan wajah berbinar.

***

Dongeng ini sebelumnya belum tamat. Tetapi si anak telah mulai mengantuk. Karena itu, ceritanya mulai tidak karuan dan agak hilang imajinasi puitiknya. Sedangkan sang ibu sudah sejak tadi telelap. Mungkin ia sudah bermimpi tentang negri jauh yang penuh bunga warna-warni saat musim semi atau sebuah negeri tropis yang hangat dan tanahnya sangat subur sehingga nyaris seluruhnya adalah hutan lebat. Atau barangkali sebuah negeri baru, bekas negeri tropis yang telah kehabisan hutan dan tinggal bangunan-bangunan tinggi menjulang—seolah ingin menyembunyikan kemiskinan. Apa boleh buat, dongeng ini harus diahiri meski belum tamat. Toh dongeng ini bukan satu-satunya. Di dunia ketiga ini masih banyak dongeng serupa. Tentang Elena yang tidak latihan menari gara-gara kehabisan parfum padahal ia takut pada kecut bau keringatnya sendiri. buuurket, kata-teman-temannya. Tentang Astri yang nggak jadi menyanyi gara-gara wignya tertinggal di kamar mandi. Tentang mbah Ratmi yang nggak jadi jualan gorengan di pasar gara-gara gigi emasnya terjatuh di jalan. Tentang dhik Dewi yang nggak jadi sekolah gara-gara belum dibelikan kalung mungil dengan liontin bunga melati seperti yang pernah dibayangkannya melingkar di leher cinderela. Dan cerita indah lainnya yang anda sendiri dapat mengerti maksudnya. Inikah yang telah diberikan peradaban pada manusia? Atau hanya orang di negeri ini saja begitu bangga mengalaminya. Sebelum tidur di smping ibunya, anak itu masih sempat meraba hidungnya. Dan ia merasa ada yang menusuk-nusuk hatinya.

[1] Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Filsafat “FENOMENA”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun