Untuk kesekian kalinya uber dan layanan transportasi online sejenisnya ditolak dan dicekal, fenomena inu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah penentang utama Uber/Grab Car berasal dari perusahaan taksi. Motifnya jelas, keuntungan berkurang karena pangsa pasar mereka digerus oleh layanan transportasi berbasis aplikasi online. Argumen penolakannya juga sama, bahwa Uber, Grab Car, dan layanan sejenisnya ilegal, tidak aman, tidak mematuhi aturan, dan malah merugikan.
[caption caption="kistuh taksi online"][/caption]
Fenomena “Ubernomics”
Di tengah perdebatan aspek legalitas dan keamana layanan transportasi online, sejumlah pengamat mencoba memperhitungkan dampak sosial-ekonomindari Uber/Grab Car. Dalam paper, The Social Cost of Uber, Brishen Roger (2015) berpendapat bahwa layanan Uber menurunkan biaya pencarian (search cost) baik untuk penumpang dan sopir. Penumpang dengan mudah membuka aplikasi dan mencari sopir yang sesuai, dan sopir pun tidak kesulitan mencari penumpangnya. Sopir tidak perlu berputar-putar di jalan mencari penupang, dan penumpang juga tidak perlu menunggu lama taksi di jalan.
Menunggu kendaraan/penumpang menimbulkan biaya tersendiri. Layanan transportasi online mampu menurunkan biaya tersebut. Berdasarkan penelitian Delioitte (2015), waktu tunggu untuk layanan Uber hanya 4,46 menit, sedangkan layanan taksi konvensional di atas 7,79 menit.
Layanan transportasi online juga dapat mengurangi problematika informasi asimetris. Adanya sistem rating driver membuat konsumen dapat memilih pengemudi yang sesuai, sehingga proses pengambilan keputusan konsumen mejadi lebih optimal. Selain itu, tarif yang ditetapkan diawal mengurangi peluang terjadinya moral hazard oleh sopir. Penumpang cepat sampai ke tujuan karena tidak ada insentif jika sopir mengambil jalan lebih jauh, sementara para taksi konvensional/argo bisa lebih tinggi.
Secara umum, layanan online ini berdampak pada perekonomian. Kita tahu perekonomian dibentuk oleh tenaga kerja dan modal. Optimalisasi dari kedua hal itu dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pertama, terkait tenaga kerja, layanan online menyebabkan seseorang, baik yang bekerja atau pun tidak, menjadi lebih produktif. Tidak hanya menyediakan lapangan pekerjaan, layanan transportasi online juga membuat seseorang pekerja kantoran bisa mendapat uang tambahan di waktu luangnya. Dan insentif ini membuat orang mau bekerja lebih.
Kedua layanan online membuat utilisasi dari modal dan aset menjadi maksimal. Terkadang seseorang memiliki aset (seperti motor dan mobil), tetapi utilisasi aset tersebut sangat terbatas. Dalam magnum opus, The Mystery Capital, Hernando de Soto menekankan, kemiskinan di sejumlah negara disebabkan oleh rendahnya utilitas aset (properti). Adanya layanan transportasi online menyebabkan seseorang dapat mengoptimalisasi penggunaan aset, sehingga aset menjadi lebih produktif. Fenomena ini sedikit juga banyak terjadi pada perusahaan rental mobil. Sejak ada layanan online, mereka bisa menyewakan aset mereka (mobil) yang menganggur kepada sopir Uber atau Grab Car.
Distorsi Pasar
Sebagaimana umumnya, creative destruction, kekuatan layanan transportasi online ini mampu mendistorsi pasar. Distorsi pertama berasal dari pasar barang dan jasa, yang umumnya dikeluhkan oleh sopir dan pengusaha taksi. Kehadiran Uber jelas merupakan alternatif baru layanan transportasi untuk masyarakat. Selain harganya jauh lebih murah, keamanan, dan kenyamanan juga terjaga. Tarif layanan Uber di Australia rata-rata lebih rendah 20 persen dibandingkan layanan taksi konvensional (Delloite, 2015).
Distorsi Uber pada pasar jasa akan menciptakan suprlus. Pertanyaannya adalah surplus tersebut siapa yang akan menikmati? Dalam hal ini, pendapat saya, konsumenlah yang paling besar menikmati surplus ini. Selain menikmati harga murah, konsumen juga yang menikmati pelyanan yang relatif baik dan waktu tunggu yang lebih pendek.