Ilustrasi - kebiri dengan suntik kimia (Shutterstock)
Tahun 2010-2014 tercatat ada 21,8 juta kasus kekerasan pada anak, dan sekitar 48-54% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Saat ini, hukuman terberat untuk pelaku kekerasan pada anak adalah hukuman penjara paling lama 15 tahun (Metro TV, 22/10/2015).
Nah dari sini muncul pendapat bahwa, hukuman di atas masih terlalu ringan bagi pelaku pedofil. Hingga muncul gagasan bahwa pelaku kekerasan harus dikebiri untuk memberikan efek jera dan mencegah pelaku melakukan tinakan serupa.
Ada satu pertanyaan menarik di sini. Bisakah pedofilia dihentikan dengan pengebirian? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan coba jelaskan terlebih dahulu kebiri dan hormon testosteron
Hormon testosterone disebut juga dengan hormon kejantanan, bertanggung jawab untuk memberi sifat jantan pada laki-laki, menumbuhkan bulu atau rambut di bagian-bagian tubuh tertentu, meningkatkan massa otot, meningkatkan kepadatan tulang, dan memberi sifat libido (hasrat seksual) pada pria. Hormon ini umumnya diproduksi di buah zakar atau testis pria yang sudah pubertas.
Secara medis, kebiri atau kastrasi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengambil testis atau mendisfungsikan testis pada manusia atau hewan. Kebiri atau kastrasi terbagi menjadi dua teknik, yaitu teknik kimia dan fisik. Teknik kimia dilakukan dengan cara memberikan hormon antiandrogen kepada pelaku pedofil, diharapkan cara ini akan menghambat produksi hormon testosterone, dan diikuti dengan penurunan tingkat libido (hasrat seksual) pedofil. Sedangkan cara fisik, dilakukan melalui metode pembedahan, dengan jalan menghilangkan secara permanen buah zakar atau testis pelaku kekerasan seksual sehingga tidak terjadi produksi hormon testosteron.
Maka dalam kasus ini, kebiri kepada predator anak tujuan utamanya adalah menghilangkan hormon testosteron dan androgennya, agar hasrat seksualnya dapat ditekan atau dihilangkan seluruhnya. Â
Namun, satu hal yang perlu dikritisi di sini adalah, bahwa pedofilia adalah suatu gangguan kejiwaan atau psikis, yang membutuhkan tindakan rehabilitasi semaksimal mungkin. Sedangkan pengebirian di sini lebih menekankan pada aspek seksualitasnya saja. Sehingga apabila suatu pelaku diduga mengalami gangguan kejiwaan, yang dalam konteks ini adalah pedofilia, maka pasien (pelaku) harus ditangani melalui tindakan psikoterapi dan rehibiltasi kejiwaan atau terapi psikis. Sedangkan pengebirian adalah hukuman pemberat saja.
Pengebirian dengan metode kimia juga memerlukan pemberian hormon berulang untuk menjaga kadar hormon androgen dalam tubuh tetap rendah. Sehingga selama pemberian sanksi pindana, pelaku harus terus diberi anti-androgen, karena hormon antiandrogen hanya bersifat sementara. Dalam hal ini, hasrat seksual pelaku juga dapat muncul kembali secara alami saat kadar hormon androgen kembali meningkat, atau saat pelaku diberikan hormon pemicu androgen. Jadi pelaku masih bisa melakukan hasrat seksual kepada korbannya.
Di sisi lain, menurut aktivis anak Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto menilai hukuman itu hanya akan memperparah kondisi psikologis pelaku. Pelaku justru akan semakin bertindak agresif, dan diperkirakan nantinya dia bukan akan hanya menyasar sekadar pada tindakan kekerasan seksual, tapi bisa menyasar kekerasan segala-galanya. Menurutnya, rasa dendam akan muncul dalam diri pelaku jika libido mereka dimatikan atau dikebiri. Sehingga mereka akan melakukan kejaharan yang lebih kejam dan sadis di kemudian hari. Jadi dampak dari kastrasi atau kebiri harus dikaji ulang dengan memperhitungkan baik buruk dampaknya.
Dalam beberapa tahun belakangan, sempat diklaim bahwa pengebirian ini dapat mengurangi kasus kekerasan seksual pada anak. Beberapa negara seperti Polandia, Turki, Moldova, Korea Selatan, Rusia, dan Jerman mengaplikasikan metode ini, dan dilaporkan mampu mengurangi dan mencegah kasus kekerasan seksual pada anak.