Mohon tunggu...
Jaja Zarkasyi
Jaja Zarkasyi Mohon Tunggu... Penulis - Saya suka jalan-jalan, menulis dan minum teh

Traveller, penulis dan editor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengantar Abi

14 Januari 2015   15:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:10 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bandara Halim Perdana Kusumah sore itu sibuk oleh aktifitas persiapan pemberangkatan calon jemaah haji. Dijadwalkan ada 3 kloter yang akan terbang sore hingga tengah malam nanti. Setelah sekian lama tak digunakan sebagai embarkasi, mulai tahun 2013 ini Halim kembali dipilih dengan alasan kepadatan jadwal penerbangan di Sukarno Hatta dan juga jarak tempuh dari Asrama Haji Pondok Gede yang cukup dekat dengan Halim.

Hanya tinggal hitungan jam, pesawat akan segera terbang membawa ratusan calon jamaah haji menuju Saudi Arabia. Ratusan jamaah pun telah mengantri melewati pintu imigrasi. Satu persatu paspor dan kelengkapan lainnya diperiksa dengan teliti. Para petugas sigap memberi pel;ayanan prima kepada para tamu Allah ini. Walhasil, sore itu Halim Perdanakusuma penuh dengan hiruk pikuk para calon tamu Allah yang hendak terbang menunaikan panggilan-Nya.

Arman adalah satu di antara calon jamaah yang tergabung dalam Kloter JKS 10. Bersama 380 jamaah lainnya, mereka terbagi kedalam 10 regu. Sebenarnya ia belum saatnya menunaikan ibadah haji. Nomor antrian saja masih tertera tahun 2019. Namun kondisi Abi yang tidak lagi mampu berdiri dan menopangnya dengan kursi roda, Arman diperbolehkan berangkat agar ayah dapat ditemani.

“Abi kita akan segera terbang. Abi jangan tegang ya, dibawa rileks aja. Jangan lupa bersholawat ya”, Arman mengusap-usap wajah lelaki tua yang tengah duduk di kursi roda. Bersama sang ayah, Arman satu diantara calhaj yang diberi kesempatan menunaikan ibadah haji tahun ini. Sungguh beruntung, karena mulai tahun ini pemerintah Saudi memotong hingga 40% dari kuota. Huh, bisa dibayangkan, berapa lama harus menunggu giliran berhaji.

Lelaki tua yang cukup renta hanya bisa mengedipkan matanya. Memang, kakinya tak lagi mampu menahan beban tubuh, pandangan pun mulai kabur, hingga bicara juga sudah sangat sulit. Hanya bahasa isyarat yang mungkin bisa dilakukannya saat berkomunikasi. Guratan wajahnya cukup memberi isyarat bahwa ia tengah berbahagia meski tubuh tak lagi mampu digerakan sempurna.

Sangat banyak calhaj yang juga berangkat dalam kondisi tak ideal secara kesehatan dan fisik. Untuk sekedar berjalan, berdiri ataupun beraktifitas ringan, mereka sudah sangat rapuh. Bahkan tak sedikit yang telah masuk masa pikun. Setiap tahun seperti itu. Jamaah haji Indonesia didominasi mereka dengan resiko tinggi. Bukan tak tahu akan resiko, namun kondisilah yang membuat para lansia tetap berangkat ke tanah suci.

Ibadah haji itu membutuhkan pengorbanan yang luar biasa. Bukan hanya fisik, harta bahkan jiwa juga harus siap dengan baik. Konon, sebelum masa kemerdekaan, para nenek moyang kita yang hendak menunaikan ibadah haji harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal laut. Pun, tak ada yang tahu apakah akan sampai di Mekkah dengan selamat ataukah tenggelam ditelan dahsyatnya ombak di lautan.

Mereka yang berhaji, tidak hanya menunaikan rukun Islam. Sebagian lagi menetap di Mekkah atau Madinah untuk berguru kepada para syekh dan ulama yang ada disana.

Berganti masa, tantangan bagi jamaah haji pun bergeser. Jika transportasi kini semakin modern, namun bukan persoalan yang mudah untuk mendapatkan jatah kursi sebagai calhaj. Pemerintah Saudi membagi kuota haji berdasarkan jumlah populasi umat Islam. rumusnya adalah 1: 1000. Maka, Indonesia dengan jumlah populasi muslim menembus angka ratusan juta, setiap tahun kebagian tak kurang 210.000 kuota jamaah haji.

**

Bukan perkara mudah baginya mendampingi Abi berangkat ke tanah suci. Saat keluarga memutuskan Arman sebagai pendamping Abi, suasana batinnya berkecamuk. Ada suasana yang tak bisa dijelaskan. Entahlah, lembaran kisah itu begitu dalam menyayat perasaannya, bahkan sepertinya tak ada ruang dalam dirinya untuk membuka hati bagi kembalinya Abi di kehidupannya.

Arman dan Abi sempat terpisah oleh jarak. Bertahun-tahun ia memutuskan untuk pergi berkelana ke negeri jiran sebagai TKI. Ia tinggalkan semua kemewahan hidup, memilih menempuh karir sendiri. Alasannya cukup sederhana. Arman kecewa dengan pernikahan kedua dan ketiga abi. Ditambah lagi, ia harus menanggung beban psikologis sebagai anak tertua bagi adik-adiknya, termasuk mereka yang berbeda ibu.

Tak kuasa menahan berbagai gejolak jiwa, Arman memutuskan mengambil jalan hidupnya sendiri. Ia putuskan tak lagi menerima uang ataupun pemberian dari  Abi. Semua fasilitas ia buang. Rasa amarah itu seakan telah menutup mata hati dan tak memberi ruang untuk kembalinya peran Abi  di kehidupannya. Bahkan jika bisa, ingin rasanya menghapus memori itu tanpa jejak.

Berkali-kali Arman mencoba membuka hati, sekedar menerima alasan Abi berpoligami. Ini murni menolong Nak. Kamu juga tau, isteri-isteri abi tidaklah lebih cantik dari ummi, mereka orang desa dan sangat kekurangan. Kasihan anak-anak mereka terlantar. Memang sangat sulit bagimu menerima logika ini, tapi abi harap kamu dapat membuka hati demi alasan yang sederhana ini.

Satu sisi di kehidupan, Arman sadar bahwa abi sepertinya tidaklah sedang melampiaskan nafsu birahi. Jika sekedar melepas syahwat, mengapa abi tidak menikahi saja perempuan muda yang lebih cantik dan seksi dari ummi? Mengapa pula abi memilih perempuan desa yang sudah beranak dua, bukankah itu semakin memberatkannya jika sekedar untuk melepas syahwat?. Benar abi, kupahami pernikahanmu dengan perempuan desa yang tak lebih cantik dari ummi, juga alasan anak-anak yang terlantar itu. Mereka memang harus dibantu agar tidak terjerumus pada kekufuran.

Tapi, benarkah menikahinya menjadi satu-satunya cara mengentaskan mereka dari kemiskinan? Bukankah ada ummi yang terluka? Bukankah itu artinya abi membuat menyembuhkan orang lain dengan melukai ummi? Ah,,abi ini aneh, bukankah bisa abi nikahkan mereka itu dengan supir-supir abi yang masih menduda. Mang ujang misalnya, bukankah dia sudah 3 tahun menduda, lalu abi kasih fasilitas dan kehidupan layak keduanya. Masih banyak cara untuk mengangkat kemiskinan mereka kok, bi.

Pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu ia temukan jawabannya. Entahlah, Arman terus berlari menghindari perasaan yang sepertinya tak pernah memberinya jawaban pasti, sebuah kedamaian, sebuah ikhlasan menerima cerita hidup. karena alasan itu pulalah hingga ia belum juga menikah. Ada perasaan takut, takut tak setia, takut ketiban kutukan meneruskan karir abi berpoligami. Konon, anak pertama akan mewariskan karakter sang ayah. Aku belum siap menikah, belum sepenuhnya yakin bisa setia. Begitulah ia selalu mengelak dari usia yang terus merambat hingga kini berkepala tiga.

Baiklah abi, kuterima jalan hidup ini, tanpa mampu kuhalangi niatmu. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Termasuk denganku, jangan pernah abi bertanya mengapa jalan hidup ini kupilih, sepertinya abi pun takkan pernah mengerti berlikunya perasaan aku dan anak-anakmu.

**

Kondisi kesehatan Abi naik turun menghadapi cuaca Madinah dan Mekkah yang tak bersahabat. Cuaca ekstrem bahkan hingga menembus 40 derajat celcius. Debu-debu berterebangan menambah ekstrimnya cuaca di musim haji ini. Para petugas haji Indonesia sibuk memberi penyuluhan agar para jamaah tetap menjaga kesehatan, mengurangi aktifitas diluar kecuali untuk beribadah. Waktu banyak dihabiskan di pemondokan. Sesekali Arman mendorong sang ayah dengan kursi roda untuk sekedar sholat dan dzikir di Masjidil Harom, itu pun harus ditemani jamaah lainnya.

Entahlah, hentakan spirit tanah haram membuka kuatnya tabir yang selama ini memisahkan kedua insan itu. Getaran dahsyat thawaf para tamu Allah seakan meruntuhkan segala dendam dan amarah Arman. Perlahan tapi pasti jiwanya kembali berusaha merengkuh lelaki rapuh yang setiap hari harus ia dorong dengan kursi roda, atau menyuapi makan dan keperluan lainnya. Ada rasa yang tak mampu ia tolak, bahwa lelaki tua di hadapannya bukanlah siapa-siapa, bukan pula musuhmu.

Ia adalah sosok yang darinya kamu lahir nak. Dialah yang membelaimu saat kau menangis kedinginan di malam hari, lelaki hebat yang telah menjagamu semalam suntuk demi mengusir nyamuk yang mengigit kulit halusmu. Kadang tak ada waktu untuk sekedar memanjakan diri, karena waktu dan hartanya telah diserahkan demi masa depanmu. Bersama ibumu, ialah lelaki itu, lelaki yang mengajarimu berjalan, mengajarimu moralitas terbaik.

Benar nak, lelaki tua itu mungkin pernah menyakiti sebagian kecil kehidupanmu. Ia telah merampas sebahagian kebanggaanmu sebagai keturunannya. Saat anak-anak seusiamu begitu gagah berjalan di samping ayahnya saat kelulusan, kamu memang hanya berdiri sendiri, karena lelaki itu tengah berjuang menapaki takdirnya. Lalu, akankah kesalahan itu menghapus segala pengorbanannya untukmu?

Innalillahi wainna ilahi roji’un. Ampuni Ya Rabb, telah kusia-siakan untuk mengabdi kepada lelaki hebat di hadapanku ini. Kusia-siakan jalan indah menuju surgamu. Ampuni aku Ya rabb, ampuni aku abi.

Cucuran air mata membasahi pipi dan kain ihram yang dikenakannya. Tangannya seperti tak setegar sebelumnya, bergetar hebat. Gemuruh jiwa menghempaskannya di dasar penyesalan yang teramat dalam. Rapuh, tak ada daya dan kuasa. Di putaran ketujuh ia pun terjatuh bersimpuh di kaki lelaki tua yang tengah duduk di kursi roda. Derai air mata semakin deras, membasahi telapak kaki abi. Tak ada yang dapat terucap, keduanya diam membisu.

Lelaki tua itu mencoba menggerakkan tangan, meraih kepala anak lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya. Dengan susah payah akhirnya rambut itu dapat diusapnya, penuh kehangatan. Ingin rasanya ia mengucapkan sesuatu, namun apa daya bibir itu terkunci rapat. Ia pun menangis, memberi tanda bahwa ia pun begitu rindu kehangatan ini, kehangatan yang tak bisa ia rasakan.

Ampuni abi ya nak. Abilah yang telah membuat jarak diantara kita. Di tempat ini, izinkan abi memohon ampun kepada Allah atas segala kekhilafan abi yang membuat kalian terluka. Maafkan jika ijtihad abi telah merusak kebahagian kalian, merusak kebanggaan kalian. Tak ada niat abi untuk menyakiti kalian. Di ujung waktu yang masih abi rasakan, berilah kesempatan untuk meminta maaf itu kepada kalian. Karena maaf itu bagi abi lebih dari segala-galanya, sebelum ajal ini menjemput.

Dialog batin itu begitu hangat dalam keheningan. Perlahan Arman menengadahkan tatapannya. Tanganya meraih wajah abi, diusapnya berkali-kali, seperti hendak meyakinkan bahwa segala dendam itu telah sirna, dan cinta itu kini kembali tumbuh.  Kembali, keduanya berpelukan, meski abi hanya bisa meneteskan air mata, walau hatinya menjerit ingin menangis sekeras-kerasnya. Tapi adaya daya, stroke telah merenggut semuanya.

Hari itu tanggal 8 Dzulhijjah. Esok seluruh jamaah akan menuju Arafah menunaikan wukuf, selnajutnya menuju Muzdalifah dan Mina. Dengan kondisi cuaca panas yang ekstrim, kesehatan menjadi sangat penting. Apalagi bagi para lansia, ancaman dehidrasi mengintai di setiap kesempatan.

Arman sadar, abi harus benar-benar fit. Ia pun mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sebelum keberangkatan esok menuju Armina, ia mengajak abi untuk rileks, tidak beraktifitas di luar pemondokan. Di kamar Arman banyak wirid dan membaca al-Qur’an. Sesekali Arman mengajak abi untuk melafalkan wirid bersamaan. Itu sudah cukup menguatkan fisik dan psikologisnya yang memang sangat rapuh dalam beberapa hari ini.

Butuh perjuangan luar biasa menuju Arafah. Bukan hanya panas, tapi juga kemacetan yang hebat, melebihi macetnya pantura di musim mudik lebaran. Jejeran bus-bus pembawa jamaah haji memadati jalanan menuju Arafah, ditambah mereka yang berjalan dari pemondokan menuju padang panas yang penuh dengan kekhusyu’an bagi siapa saja yang menempatinya.

Alhamdulillah, Arman bersyukur abi tak drop meski hampir 4 jam terjebak macet. Sesampanya di tenda Arafah, keduanya duduk dan mengambil tempat di pojok tenda lebar. Sengaja agar tak mengganggu orang lain yang hilir mudik. Tak ada aktifitas selain berdzikir dan membaca al-Qur’an. Arman benar-benar tak ingin melewatkan momen bahagia ini berada di padang Arafah bersama abi, lelaki rapuh yang sempat ia sia-siakan.

Dinginya udara Arafah membuat kesehatan abi drop. Badannya terasa dingin, menggigil. Arman terus memberi semangat, sesekali memeluk tubuh rapuh itu dengan penuh ketulusan.

“Percayalah bi, abi pasti kuat. Tinggal dua langkah lagi kita akan menyelesaikan proses ibadah haji ini.” Arman terus menyemangati abi. Sesekali abi menganggukan kepala dan tak lupa melempar senyum kepada anak lelaki yang kini telah kembali ke pangkuannya.

Beberapa dokter terus memonitor kesehatan abi. Maklum, kesehatannya terpantau terus menurun sejak tiba di Arafah. Keteguhan hati abi dan semangat Arman telah menutupi melemahnya daya tahan tubuh abi. Dan para dokter hanya bisa berucap subhanallah atas kekuatan keduanya melewati proses ibadah haji yang begitu berat ini.

Tubuh renta itu pun semakin menurun kekuatannya. Menjelang keberangkatan menuju mabit Muzdalifah, tubuhnya semakin lemas, cucuran keringat dingin terus mengalir di leher dan pundaknya. Sesekali ia harus berjuang menahan rasa sakit di dada, mungkin sesak nafas, karena ada banyak debu berterbangan. Arman terus memegang tangan abi, tak ingin sekjengkal pun ia terpisah darinya. Pun, saat ia harus meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah menjelang isya, ia terus berada di sisi abi.

Muzdalifah yang sejak siang sepi bak padang tak bertuan, kini mulai dibanjiri para tamu Allah. Lautan putih tampak menghiasai berbagai sudut area yang gersang itu. Bahkan, area perbukitan pun tak luput menjadi tempat para tamu Allah untuk menunaikan prosesi haji, yaitu mabit (menginap) semalam. Tak ayal, kemacetan menghiasi segala penjuru Muzdalifah. Debu-debu bertebaran, siap memerahkan mata dan merusak tenggorokan. Sesekali terdengar bising ambulace yang mengevakuasi jamaah haji yang sakit. Walhasil, malam itu Muzdalifah banyak menampilkan berbagai tragedi: kemacetan, evakuasi, mereka yang terjatuh diserang sesak nafas, dan lainnya.

Wajah Arman mulai nampak panik. Matanya tajam menatap abi, tangannya terus memeluk tubuh rapuh itu. Ditemani seorang dokter, Arman bersiap turun dari bus, menuju tempat mabit yang telah disediakan.

“Mas Arman, kita langsung bawa ke posko ya, itu dekat tower, ada posko kesehatan maktab 60. Kami sudah berkoordinasi dengan tim kesehatan disana. Ini harus segera diberi oksigen,” suara dokter kloter membuyarkan pelukan Arman.

“Baik dok, saya ikut saran terbaik anda”, Arman mengangguk tanda setuju.

Lelaki tua itu pun langsung dibawa menuju posko. Tidak mudah menuju posko. Ada juataan orang, padat, sehingga sangat sulit menembus gelombang manusia. Tubuh abi yang mulai lemas semakin menambah suasana panik dan sedih. Tak ada tanda abi merespon apapun isyarat dari Arman dan tim dokter. Tubuh lelaki tua itu tergolek lemas di tandu, matanya terpejam, sesekali nafasnya tersendat, seolah ia tengah merasakan sakit luar biasa.

“Ambulance nggak bisa masuk dok, semua jalur tertutup oleh bus jamaah. Macet dimana-mana. Kami nggak ada persediaan oksigen lagi, dok,” seorang perawat menghadap dokter kloter yang membawa abi.

Para dokter dan perawat nampak kebingungan. Mereka terus menerus bersholawat, berharap ada keajaiban. Tertutupnya akses menuju Muzdalifah menyebabkan cadangan okxigen berkurang.

“Kita hanya punya waktu sedikit mas. Coba hubungi pos mabit 61 atau 62, mungkin ada persediaan oksigen.” Dokter Indra segera mendekati tubuh abi yang terus menurun. Namun wajahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran luar biasa.

Arman hanya bisa mendengar perbincangan itu dengan hati yang pilu. Abi yang lemas tergolek di atas tandu terus menampakkan penurunan yang semakin mengkhawatirkan. Nafasnya semakin pendek. Wajahnya pucat,tubuhnya menggigil.

Dokter Indra menghampiri Arman. Ia memegang pundaknya, berbisik lirih penuh pengharapan.

“Semua telah disiapkan mas, tapi keadaan berkata lain. Seluruh logistik kita telah terpakai, dan cadangan pun terhadang kemacetan.”

“Saya paham dok, keadaan memang tidak bisa dilawan. Saya ikhlas dok, terima kasih untuk segala usaha semua tim kesehatan. Mungkin ini sudah saatnya untuk abi. Izinkan saya mendampingi beliau dok, saya ingin mendampingi di akhir hayatnya,” Arman memeluk balik dokter Indra.

Susana hening di tengah bisingnya padang Muzdalifah. Lelaki tua itu terbujur kaku, seluruh pertolongan tak mampu membangunkannya kembali. Arman sadar, ini mungkin akhir dari perjalanan itu. Takdir itu mungkin ada di sini, untuk abi dan kami. Segera ia duduk tepat di samping wajah abi yang nampak tak berdaya. Dikecupnya kening abi. Suaranya lirih menandakan kesedihan luar biasa. Mencoba membisikan tahlil dan tahmid.

Abi jangan ragu. Inilah saat yang tepat untukmu kembali. Di tanah suci ini, di waktu mulia ini, di kesempatan yang indah ini, Izroil akan menjemputmu. Sambutlah kedatangannya dengan lafadz tahlil dan takbir. Sambutlah hari kebahagianmu ini abi.

Ingatkah abi? Setiap muslim mendambakan syahid. Tak ada yang lebih indah dari kematian di jalan Allah. Dan hari ini abi ada di padang Muzdalifah, menunaikan panggilan-Nya, walau dalam kerapuhan dan tubuh yang sangat renta, adalah jalan jihad yang kesempatannya sangat diimpikan. Abi tentu ingat, bahwa abi begitu sangat merindukan meniti jalan syahid. Kini, semuanya ada di depan mata. Abi adalah satu di antara mereka yang beruntung.

Kami sudah hapus segala dendam itu. Waktu telah mengajarkan kami arti penting berlapang dada, mengambil hikmah lebih baik daripada kami harus terus menerus terperangkap dendam yang tak memberi kami manfaat kecuali kehancuran. Cerita hidup kita, inilah anugerah terindah dari Allah, untuk kita syukuri, untuk kita jalani dan untuk kita nikmati dengan penuh keikhlasan. Percayalah abi, rasa marah dan dendam telah terhapus oleh cinta yang bersemanyam di jiwa ini.

Jangan kau khawatirkan anak-anakmu. Kami akan menjaganya, kami takkan menjadikan mereka saudara tiri. Mereka adalah adik-adik kami, ada darah abi mengalir di tubuhnya. Ada semangat abi bersemanyam di jiwanya. Ada kehormatan abi yang tersimpan di balik nama-nama mereka. Kami adalah saudara dalam suka dan duka.

Asyhadu an lâ ilâha illallâ wa asyhadu anna muhammadan rasulullah. Allahu akbar.

Suara Arman terdengar lirih, membimbing abi melewati sakaratul maut. Wajah abi tampak melemah, pernafasannya sangat dalam namun penuh dengan ketenangan. Tak ada ketegangan di wajah abi, sepertinya ia rileks berada dipangkuan Arman yang terus membimbingnya.

Wajah abi mengisyaratkan bahwa ia kini telah siap meninggalkan keluarga. Tak ada ketakutan lagi. Dan, dalam tiga tarikan nafas, abi menghembuskan nafas terakhirnya.

Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Serentak suara terdengar dari para perawat dan dokter di sekeling Arman. Mata itu telah terpejam, dipangkuan Arman, abi tersenyum melepas deritanya dengan penuh keikhlasan.

**

“Maafkan abi ya ummi. Insya Allah beliau tenang di alam barzakh. Aku sendiri yang mendampingi saat-saat terakhir menjelang wafat. Kita berdoa saja semoga beliau diberi tempat terindah di sisi-Nya,” Arman membisiki telinga Ummi saat berangkulan di Asrama Haji Pondok Gede.

“Ummi ikhlas nak. Bahkan ummi bangga karena abi akhirnya bisa mewujudkan mimpinya syahid. Kamu juga, ummi ucapkan terima kasih sudah menemani abimu ke tanah suci,”, Ummi membalas erat rangkulan anak sulungnya.

Satu persatu adik-adik Arman berangkulan memberi sambutan hangat. Tangis haru mewarnai perjumpaan keluarga ini dalam kehangatan. Tak ingin melewatkan moment bahagia ini, Arman menyalami seluruh anggota keluarga, termasuk adik-adik tirinya.

“Abang cinta kalian, jangan takut untuk mendekat. Kita lahir dari darah abi yang satu, ia orang hebat.” Arman mencium satu persatu adik tirinya. Ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa cinta itu benar-benar hadir dan terus tumbuh di hadapan adik-adiknya dari lain ibu.

Keluarga besar itu pun larut dalam keharuan luar biasa. Sekat-sekat itu kini telah terputus, berganti kehangatan dan keakraban.

Terima kasih abi, darimu kami belajar tentang keikhlasan. Allahummagfirlahu warhamu wa’afiihi wa’fu ‘anhu.

Medio 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun