Mohon tunggu...
Kang Hermanto
Kang Hermanto Mohon Tunggu... Administrasi - Pemulung Pengetahuan

Penikmat pagi tanpa seduhan kopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tes CPNS, Berlumur Isu Dugaan Suap

11 Desember 2010   20:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada persoalan serius di tubuh birokrasi kita. Sayangnya, sedikit sekali kajian yang mengulasnya. Meskipun saya termasuk ‘orang dalam’, saya mengapresiasi berderet opini yang sedang merebak baik di media maupun obrolan di kampung. Yaitu terkait aroma dugaan suap alias ‘uang tanda terima kasih’ (atau apalah namanya) dalam perekrutan pegawai, baik sebagai pegawai tidak tetap/ honorer ataupun pegawai negeri sipil/ PNS.

Berita terbaru, ada sejumlah oknum PNS yang menjadi calo penerimaan tenaga honorer. Di lain pihak, dijumpai tren menurun terkait keikutsertaan masyarakat dalam Tes CPNS tahun ini. Di Kota Bekasi contohnya, peserta tes tahun ini 50% lebih sedikit dari 2009. Selain karena di sejumlah daerah formasi favorit tak lagi dibuka, kuat dugaan akibat munculnya krisis kepercayaan. Bertengger paradigma bahwa yang nantinya diterima atau lulus tes berasal  dari kalangan berduit. Yakni mereka yang bersedia membayar sejumlah uang tertentu kepada panitia penyelenggara.

Terus terang, saya jengah mendapati isu dugaan suap tersebut kini bergulir menjadi buah bibir. Di banyak tempat mulai dari pasar sampai jejalan penumpang angkot, semua menyangsikan obyektifitas hasil Tes CPNS. Bahkan seorang penambal ban yang saya temui tempo hari sekalipun, menyatakan hal serupa. Ia meyakini cita-cita anaknya menjadi seorang abdi negara pupus sudah. Karena ia merasa tidak memiliki uang segebok seperti yang ‘disyaratkan’.

Saya maklum, karena besaran tarif untuk satu kursi CPNS sudah dibincangkan secara blak-blakan dengan membandrol nominal rupiah yang fantastis. Ini bukan rahasia lagi. Untuk tahun 2009, beredar rumor bahwa ‘harga’ satu kursi CPNS berkualifikasi S1 adalah Rp 90 juta. Sedangkan untuk tahun ini, kabarnya menembus angka dalam kisaran Rp 125 – 150 juta. Sedangkan untuk menjadi tenaga honorer, katanya butuh dana Rp 35 juta saja. Wow…

Yang pasti, praktek semacam itu masih sekedar dugaan semata. Mungkin saja ada. Jadi bukan merupakan fakta karena belum mampu dibuktikan secara formal di muka pengadilan. Aliran dananya ke mana, juga sulit dilacak. Hanya saja, saya mendapati beberapa gelagat aneh. Meski tak mempunyai hitungan numerikal yang akuntabel, namun saya menjumpai banyak CPNS baru hasil rekrutmen kemarin ternyata memiliki hubungan biologis dengan para pejabat setempat, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. Ada yang putra atau putrinya, keponakan, sepupu dan bahkan tetangga. Ada pula yang ternyata anak pembesar pemerintahan/ perusahaan di luar daerah berkenaan. Hingga jangan heran, baru jadi CPNS saja sudah ada yang berkendara Honda Jazz. Wuiih, bukannya iri tapi pengin. Heheh… Ah, barangkali pengamatan saya keliru. Dan kalaupun benar, itu kebetulan semata. Semoga.

Namun jikalau dugaan tersebut benar, layaklah kita menangis sejadi-jadinya. Saya bukannya merasa sok suci dan menafikan profesi saya sendiri yang konon juga seorang PNS. Tidak. Saya hanya sekedar merekam sejumlah fenomena tak wajar yang sedang marak disoroti. Apalah jadinya negeri ini jika aparaturnya sudah mengalami cacat moral sedari lahir. Bisa dibayangkan, kelak pejabat-pejabat bermental korup masih saja akan gentayangan. Akan selalu hadir membayang-bayangi tugas dan pengabdian kepada negara. Buntutnya… Indonesia sebagai rechstaat (negara hukum), patut ditinjau kembali. Karena kekuasaan tertinggi bukan lagi pada hukum, namun semata-mata pada uang dan uang.

Wallahu a’lam. Andai semua dugaan itu benar, dari tinjauan administrasi negara maka saya lihat saja… legitimasi pemerintah sebagai pemangku kekuasaan negara kelak akan beringsut hilang. Pejabat negara dan pemerintah tak akan lagi berwibawa di mata publik, gara-gara praktek amoral semacam di atas. Segala produk hukum dan himbauan negara bisa jadi dianggap tak penting lagi, layak diabaikan. Karena masyarakat (ujung-ujungnya) selalu menjadi sapi perah hegemoni kalangan atas. Hhhh… Bagaimana menurut Anda? [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun