Protokoler. Satu kata yang lekat denganku dalam keseharian. Ya, kebetulan 6 tahun terakhir aku bertugas di Bagian Protokol Pemkab Probolinggo. Bisa ditebak, hari-hariku dipenuhi aktifitas mengatur kegiatan pejabat setempat. Utamanya yang berkaitan dengan gelaran acara di muka publik. Semua harus serba siap dan tertata. Mulai dari penataan table manner hingga urusan kamar kecil. Pokoknya hal yang terbilang remeh temeh justru menjadi lahan pekerjaanku. Manajemen acara termasuk di dalamnya. Detil urutan acara yang akan digelar harus jelas tiap menitnya. Pergerakan semua pihak yang terlibat selama acara berlangsung juga tak boleh samar-samar. Ini vital, agar pejabat bersangkutan yang menjadi VVIP (Very Very Important Person) tak boleh lagi tolah toleh kebingungan saat harus tampil di depan khalayak. Dus, sekali lagi, petugas protokol harus mampu menjelentrehkan skenario acara yang ada. Lebih dari itu, aku juga harus mengatur posisi tempat duduk/ berdiri. VVIP dan sejumlah undangan penting lainnya harus dipastikan mendapatkan posisi yang utama. Hal ini penting, demi menjaga kedudukan derajat (dignity) mereka. Terkait hal ini, aku punya cerita menarik. Suatu ketika saat tak bertugas, aku mengikuti Sholat Jum'at di masjid dekat rumah. Karena tak datang lebih awal, maka aku kebagian tempat duduk agak di belakang. Seusai ber-tahiyatul masjid, aku terperangah melihat Pak Cipto duduk tak jauh dari tempatku. Ini aneh. Sebab sepengetahuanku sejak aku masih SD, lelaki yang berusia sekitar 70 tahunan ini selalu memposisikan diri di shaf terdepan bagian tengah. Biasanya berdampingan dengan tempat muadzin. Satu jam sebelum sholat dimulai, beliau bisa dipastikan sudah hadir di masjid. Nah, mengapa kali ini beliau duduk di belakang? Karena penasaran, begitu turun dari masjid aku bertanya padanya, "Pak Cip, kenapa njenengan koq tidak duduk di shaf biasanya? Datang terlambat ya?". Beliau lantas menjawab bahwa sesungguhnya beliau tadinya sudah duduk di shaf depan, tempat favoritnya itu. Aktifitas dzikir-pun katanya sudah beliau mulai, tenggelam dalam munajat pada Allah. Namun mendadak beberapa saat sebelum adzan, ada seorang petugas Pemkot menyuruh beliau dan sederet jama'ah di sampingnya pindah ke belakang karena tak lama lagi Walikota datang. Ya, Pak Walikota beserta rombongan rupanya hendak sholat di masjid itu dan membutuhkan tempat yang utama. Maklumlah... pejabat. ??? Mendengar cerita beliau, aku lantas menelan ludah. Dalam benak terpikir, "Pasti yang mengusir Pak Cip adalah staf protokoler...". Aaaaah, kurasa ada yang salah dalam hal ini... :-( [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H