Saya pernah menulis soal hukum memilih pemimpin non-muslim. Tulisan itu kebanyakan adalah kutipan-kutipan dari berbagai pendapat. Telah terjadi perbedaan pendapat dalam soal ini. Ada yang membolehkan, ada pula yang tidak. Ini wilayah khilafiyah. Saya tidak akan membahas lebih lanjut soal ini.
Cuma, mari kita bicara soal konsistensi. Orang-orang yang menganggap haram memilih pemimpin non-muslim itu berpegang pada pendapat ulama-ulama terdahulu. Coba sinkronkan semua. Para ulama itu berpendapat pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Sebagian orang menyebutnya khilafah, tapi bagi saya itu hanyalah kerajaan atau imperium.
Apa yang terjadi pada masa itu? Pemerintahan dipimpin oleh seorang raja, dengan kekuasaan absolut. Segala sesuatu ditentukan oleh raja, tidak ada kontrol formal. Juga tidak ada undang-undang. Sabda raja adalah hukum. Struktur pemerintah di bawah raja juga ditetapkan oleh raja sendiri. Ia memilih dan memberhentikan penasihat dan pembantunya. Ia pula yang memilih gubernur, atau jabatan-jabatan lain di dalam kerajaannya.
Bagaimana pada masa sebelumnya? Pada masa khulafaur rasyidin pun begitu. Khalifah adalah pemimpin absolut, dan baru diganti kalau ia wafat.
Kekacauan pada masa khulafaur rasyidin mulai terjadi di zaman Usman bin Affan. Salah satu karakter Usman yang sering dikritik oleh para ahli sejarah adalah nepotis. Ia banyak memberi jabatan kepada kerabatnya dari kalangan Bani Umayyah, termasuk keluarga Abu Sufyan. Padahal Abu Sufyan ini hampir sepanjang sejarah perjuangan Nabi adalah musuh paling nyata. Ia baru masuk Islam saat Mekah ditaklukkan.
Kerabat Usman yang diberi kekuasaan menumpuk kekayaan, hidup bermewah-mewah. Beberapa kalangan mengritik, termasuk di antaranya sahabat utama Nabi, Abu Dzar. Usman "membuang" Abu Dzar ke Syam. Di Syam kritik-kritik Abu Dzar membuat Muawiyah gerah. Ia kemudian dikirim kembali kepada Usman. Lalu ia disuruh menyepi saja. Sahabat lain yang mengritik Usman adalah Ammar bin Yasir serta Abdullah Ibnu Mas'ud.
Penulis Mesir Faraq Fouda menulis bahwa Usman diminta mundur oleh banyak sahabat, tapi ia menolak. Baginya menjadi khalifah adalah amanah Allah, maka hanya Allah saja yang boleh menyuruh dia berhenti. Hal ini membuat marah banyak orang.
Bagaimana dengan sekarang? Sekarang kita hidup di alam demokrasi. Pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Ia bekerja di bawah kontrol undang-undang dan seperangkat regulasi. Ia boleh diberhentikan bila telah terpenuhi syarat-syaratnya. Masa tugasnya pun dibatasi.
Yang paling penting, negara ini berlandaskan pada konstitusi, bukan pada Quran maupun syariat Islam. Konstitusi membolehkan siapapun, apapun agamanya, menjadi pemimpin.
Kalau orang-orang itu keberatan, mereka harus konsisten. Jangan ikut konstitusi sama sekali. Jangan jadi warga negara sama sekali. Kalau konsisten, negara ini kafir hukumnya, karena tidak berlandaskan pada Quran. Karena tidak konsisten, mereka jadi lucu. Berharap nilai-nilai Quran diterapkan pada pemerintahan yang tidak berlandaskan Quran. Itu ibarat memaksa untuk pakai raket dalam permainan sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H