Mohon tunggu...
Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan siapa-siapa. Hanya seorang penulis. Blog saya yang lain: http://berbual.com http://budayajepang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Shuji Nakamura, Anak Terbuang Peraih Nobel

8 Oktober 2014   22:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14127561471272468040

“American and 2 Japanese Physicist Share Nobel for Work on LED Lights” begitu judul berita di New York Time soal Hadiah Nobel Fisika tahun ini. Orang Amerika yang dimaksud dalam berita itu adalah Shuji Nakamura, profesor di Universitas California Santa Barbara. Meski bernama Jepang, ia kini memang warga negara Amerika. Judul berita ini boleh jadi adalah pukulan bagi bangsa Jepang. Nakamura lahir, besar, mendapat pendidikan, dan bekerja di Jepang. Riset yang mengantarkannya pada penemuan LED biru yang kini diganjar Hadiah Nobel juga dilakukan di Jepang. Namun ia menerima hadiah tersebut sebagai orang Amerika.

Perjalanan Nakamura hingga menemukan LED biru adalah perjalanan panjang, tidak hanya dari aspek sains dan teknik, tapi juga dari aspek lain, yaitu manajemen dan kultur perusahaan Jepang. Puncak dari berbagai tantangan itu adalah ketika Nakamura memutuskan untuk keluar dari perusahaan. Tidak cuma itu. Ia keluar dari negerinya, hijrah ke Amerika, dan menanggalkan kewarganegaraannya.

Lulus program master dari Universitas Tokushima, Nakamura melamar pekerjaan ke Kyosera, sebuah perusahaan elektronik besar di Jepang. Saat hendak pergi wawancara ia diberitahu bahwa fisikawan teoritis tidak akan diperlukan di perusahaan. Semasa kuliah ia menekuni bidang kuantum elektromagnetik. Ia seorang fisikawan teoritis yang tidak pernah bekerja di bidang riset eksperimental. Ia lulus tes di Kyosera, tapi akhirnya memutuskan untuk bekerja di Nichia Chemical, dan ditempatkan di bagian riset dan pengembangan.

Sebagai peneliti untuk pengembangan produk tentu ia harus melakukan berbagai kerja eksperimen. Meski berlatar belakang teoretis, Nakamura bersungguh-sungguh dalam menekuni riset eksperimental. Ia berguru kepada perajin gelas untuk mendapat keterampilan mengolah gelas menjadi berbagai bentuk. Keterampilan ini menjadi modal bagi dia saat memodifikasi perangkat chemical favor deposition (CVD) yang digunakan untuk menumbuhkan kristal semikonduktor. Modifikasi inilah yang kemudian memungkinkan ia menghasilkan kristal gallium nitride (GaN) dengan kualitas sangat baik, dan mengantarkannya pada penemuan LED biru.

Dalam perjalanan karisnya sebagai pengembang produk di Nichia, Nakamura sempat menghasilkan beberapa produk, di antaranya wafer semikonduktor galium. Namun produk ini tidak laku, karena perusahaannya kecil dan produknya kurang promosi. Saat itulah ia punya gagasan untuk mengembangkan LED biru. Waktu itu semikonduktor berbasis selenium menjadi pusat perhatian para peneliti. Tapi Nakamura memilih untuk menghindar dari keramaian, dan melakukan riset dengan galium sebagai bahan dasar. Bagi Nakamura, kalau sekian banyak peneliti unggul mencoba membuat LED biru dengan selenium dan tidak berhasil, itu artinya penelitian dengan bahan itu adalah jalan buntu.

Dalam perjalanannya riset ini dianggap tidak berguna dan menghabiskan terlalu banyak uang. Riset diusulkan untuk dihentikan. Tapi Nakamura tak menyerah. Ia membangkang, dan terus melanjutkan riset. Untuk meneruskan riset ia harus melawan berbagai aturan yang mengikatnya di perusahaan. Ia tak lagi menghadiri berbagai rapat, tak menulis laporan, bahkan tak menjawab telepon. Perlakuan tak ramah dari perusahaan membuat Nakamura digelari “Slave Nakamura” oleh para koleganya dari Amerika. Satu-satunya pelindungnya waktu itu adalah pendiri Nichia, yaitu Nobuo Ogawa. Berkat kegigihannya ia akhirnya berhasil mewujudkan impian, membuat LED biru dari bahan galium nitrida.

Nakamura merasa LED biru milik dia. Perusahaan tidak mendukung riset tersebut. Ia mengerjakannya sendiri. Maka ia kecewa dan menuntut hak atas paten produk tersebut. Pihak perusahaan menolak dengan dalih bahwa teknologi yang dikembangkan Nakamura tidak dipakai dalam produksi LED yang mereka jual secara komersil. Dari proses yang panjang mula-mula pengadilan memutuskan bahwa perusahaan harus membayar kompensasi 20 milyar yen. Namun kemudian hukuman itu turun hanya menjadi 800 juta yen saja.

Hambatan dalam riset, kalah di pengadilan, kiranya itu semua menjadikan kekecewaan Nakamura menumpuk. Ia memutuskan untuk pindah ke Amerika, menjadi profesor. Kerja akademik di kampus bukanlah cita-cita Nakamura. “Saya tak punya pengalaman mengajar. Saya tak pandai mengajar orang. Lebih cocok kalau saya bekerja di perusahaan. Saya ingin membuat produk,” kata Nakamura dalam sebuah wawancara dengan Nikkei Technology di tahun 2000. Tapi akhirnya ia memilih untuk menjadi profesor.

Adakah perusahaan Jepang yang menawarinya pekerjaan ketika ia memutuskan untuk keluar dari Nichia? “Tidak. Mustahil. Dengan gaya manajemen perusahaan Jepang, mustahil,” katanya. Ungkapan Nakamura itu mewakili kekecewaannya terhadap perusahaan tempat ia pernah bekerja, dunia bisnis Jepang, bahkan mungkin terhadap negaranya.

Yang dihadapi oleh Nakamura sebenarnya adalah soal klise, konflik antara manajemen dengan peneliti dalam perusahaan. Ini juga konflik antara keinginan untuk meraih laba dalam jangka pendek dengan visi masa depan. Riset adalah wilayah pengguna uang dalam jumlah besar, padahal manajemen dituntut berhemat untuk meningkatkan laba. Tapi tanpa riset perusahaan tak akan punya masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun