Mohon tunggu...
Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan siapa-siapa. Hanya seorang penulis. Blog saya yang lain: http://berbual.com http://budayajepang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Wisudawan

29 September 2015   08:00 Diperbarui: 29 September 2015   08:08 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ha?? Mobil siapa?”

“Saya dipinjami teman Indonesia. Kebetulan mobilnya sedang tidak dipakai.”

Dia kembali tergeleng-geleng. “Saya yang orang Jepang tidak dapat pinjaman mobil, kamu orang asing kok bisa begitu. Luar biasa.” katanya.

Di masa-masa setelah kejadian di Hiroshima tadi, saya tak lagi tergantung pada Sensei. Saya urus sendiri setiap keperluan riset saya, termasuk urusan perjalanan. Perjalanan adalah bagian penting dari riset, baik dalam rangka seminar maupun melakukan eksperimen di lembaga lain. Tidak cuma itu. Beberapa kali saya pergi presentasi hasil riset ke konferensi internasional dengan dana yang saya usahakan sendiri melalui berbagai research foundation. Adanya dana semacam ini pun tadinya tidak diketahui oleh Sensei, saya yang memberi tahu dia. “Heran saya, kok kamu lebih tahu soal Jepang daripada orang Jepang.” komentar dia.

“Jadilah orang yang independent, jangan dependent.” nasihat Sensei di awal kedatangan saya. Itulah yang kemudian terjadi. Saya tidak menjadi beban, bahkan kemudian mengurangi beban Sensei. Dua tahun berlalu, saat saya tamat program master, saya sudah menjadi semacam asisten bagi Sensei. Saya mengurusi dan merawat peralatan eksperimen, membimbing mahasiswa yang lebih muda (orang Jepang), dan menangani berbagai tetek bengek administrasi.

Ketika pensiun, dalam catatan akhirnya di bulletin kampus, Sensei menyediakan paragraph pertama untuk memuji saya. Sensei mungkin teringat pada kata-kata kasarnya pada pertemuan pertama kami. Dua tiga tahun setelah itu, dia mencoba mengoreksi sikap itu. “Kamu itu seumuran dengan anak saya. Orang tua itu punya sikap, bahwa anak itu biar sudah dewasa sekalipun tetap dipandang seperti anak-anak. Itu namanya oyagokoro (hati orang tua). Saya kadang memperlakukan dan memarahi kamu seperti anak-anak, karena kamu itu anak saya.”

Pada masa selanjutnya, yang terjadi hanyalah ulangan dari hal-hal yang saya tulis di atas. Memasuki dunia industri, saya mulai dari pengetahuan nol tentang segala sesuatu. Belajar, mencoba, adalah hal yang terus saya lakukan hingga saat ini.

Begitulah. Ketika kita mulai sesuatu, mungkin orang tak melihat kemampuan kita. Mungkin kita diremehkan. Untuk menjawabnya kita hanya perlu menunjukkan hasil kerja. Dan untuk mencapai hasil kerja yang baik, tak hanya dibutuhkan kemampuan profesional atau hard skill. Tapi juga dibutuhkan kemampuan lain, yang biasa disebut soft skill. Dan kemauan untuk bekerja keras, mencoba terus, tanpa kenal menyerah. Dalam banyak hal, kita mungkin harus mengerjakan pekerjaan sepele yang sepertinya tak penting. Seperti saya harus kerja rodi dalam riset. Itupun harus kita kerjakan.

Orang yang merasa mentereng karena ia seorang sarjana dan karenanya tidak perlu lagi mengerjakan pekerjaan sepele, besar kemungkinan akan jadi orang yang gagal. Soerang sarjana baru punya sangat sedikit bekal. Ia masih perlu belajar lebih banyak lagi, termasuk dari hal-hal yang kelihatannya sepele.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun