Peran pemerintah atau pemimpin dalam sebuah Negara sangatlah penting. Tanpa ada seseorang yang memimpin sebuah negara tidak akan tercapai kestabilannya dan akan menjadi lemah dan mudah terombang-ambing oleh kekuatan luar. Ketaatan kepada pemimpin rakyat kepada pemimpin (selama tidak maksiat) maka akan tercipta keamanan dan ketertiban serta kemakmuran.
Penguasa (al hakim) adalah, orang yang karena tugas dan kewenangannya untuk menjaga stabilitas sosial di suatu negri, baik ia mendapatkan kekuasaan dengan cara yang disyariatkan atau tidak (Majalah As-Sunnah edisi 06/x/1427H/2006M Taat Kepada Umara’ Merupakan Kekuatan Umat hal-33).
Dalam Islam, kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemerintah tertuang dalam surat An-Nisaa:59: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian (pemegang kekuasaa) diantara kamu.”
Ketaatan rakyat kepada pemerintah harus dilakukan secara bersama-sama, bersatu-padu agar menjadikan Negara kuat dan makmur. “ Dan taatlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian saling berselisih, karena akan menyebabkan kalian akan menjadi lemah dan hilang kekuatan, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Al-Anfal: 46:
Di dunia ini tidak ada seorangpun manusia yang sempurna. Manusia adalah tempat salah dan dosa, lupa dan khilaf sudah menjadi hal yang lumrah. Kesalahan yang yang terjadi baik sengaja atau tidak (khilaf) akan menimbulkan kebencian, karena pada dasarnya (fitrahnya) manusia sangat senang dan mendambakan adanya kebenaran.
Seorang penguasa sudah pasti bukan manusia sempurna sehingga tidak mungkin dapat menyenangkan atau memuaskan semua orang dalam suatu negeri. Meski penguasa seorang nabi, namun tidak semua rakyat akan bisa menerima dengan senang hati karena berbagai kepentingan dan pertimbangan masing-masing.
Ketaatan kepada pemerintah merupakan keharusan dan sebagai kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dasar ketaatan bukan pada perasaan senang dan tidak, namun sebagai perintah dari Allah SWT pencipta seluruh manusia di bumi ini. “Barang siapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara ( yang dia benci ), maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal saja kemudian dia mati,maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (HR. Bukhari)
Di alam demokrasi seperti sekarang ini, proses memilih pemimpin melalui pemilihan langsung. Siapapun yang terpilih harus ditaati meski tidak kita tidak ikut memilihnya agar selamat di dunia dan akherat. “Barang siapa yang melepaskan tangannya bai’atnya (memberontak) hingga tidak taat (kepada pemimpin ) dia akan mememui Allah dalam keadaan tidak berhujjah apa-apa.” (HR. Muslim)
Tidak ada alasan untuk berlepas diri dari pemimpin yang terpilih, meskipun pemimpin yang terpilih dari golongan (kasta) rendah.“Dengar dan taatlah kalian kepada pemimpin kalian, walaupun dia seorang budak Habsy.” (HR. Bukhari)
Semua perintah dan larangan dari penguasa harus ditaati seluruh raktyat tanpa kecuali. Perintah dan larangan penguasa dalam bentuk hukum peraturan perundang-undangan. Semua orang dihadapan hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama. “ Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin –ed.-) baik dalam perkara yang ia sukai atau dia benci, kecuali dalam kemaksiatan. Apabila dia diperintah untuk maksiat, tidak boleh mendengar dan taat.”
Menurut Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah (wafat th. 792 H) bahwa Hukum mentaati ulil Amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Allah SWT tidak akan menghukum atas kesalahan (dosa) mereka kepada diri kita. Dosa yang kita tanggung disebabkan kerusakan amal perbuatan kita sendiri. Ganjaran itu tergantung amal perbuatan masing-masing. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampun, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.1