Sungguh ironi, sebagai tulang punggung Negara, pajak sangat dibenci walaupun sangat dibutuhkan, dicari dan dirindukan oleh rakyat. Banyak teori dan pendapat ahli ekonomi bahwa pajak sangat penting untuk kehidupan Negara. Pada kenyataan saat ini, pajak jauh dari teori dan pendapat itu. Hampir semua orang ingin lari dan menjauh, bahkan kalau bisa dan mampu akan berusaha melawan apabila dikenakan pajak.
Apapun profesi dan pekerjaanya semua orang ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sangat sedikit orang yang rela dan ikhlas kalau hasil usahanya atau pendapatanya dikurangi oleh pajak dengan berbagai dalih dan alasan. Karena tidak bisa menghindar atau terpaksa masyarakat harus membayar pajak melalui pemotongan pajak penghasilan atau pungutan PPN atas konsumsi barang dan jasa.
Orang miskin yang penghasilannya kecil cenderung sulit untuk menghindar dan lebih pasrah untuk dikenakan pajak. Sedangkan bagi orang kaya dengan penghasilan yang besar memungkinkan untuk menghindar atau kalau perlu mencuri uang pajak yang seharusnya disetor ke Negara. Pengusaha kakap mampu membayar tenaga akuntan untuk merekayasa perhitungan dan laporan pajak dan kalau ketahuan aparat pajak bisa mencari beking aparat, birokrat atau politikus agar bisa selamat.
Orang Indonesia banyak yang kaya-raya dan sering menjadi langganan masuk daftar orang kaya sedunia. Alam bumi Indonesia begitu subur dan menyimpan banyak kekayaan yang membuat bangsa lain berusaha untuk menguasainya. Selain itu, putra-putri Indonesia juga sangat ulet, tangguh dan cerdas. Hal ini terbukti dalam sejarah dari jaman dahulu banyak kerajaan besar di Nusantara yang mampu menguasai dan berbicara di kancah internasional. Indonesia menjadikan rakyatnya bangga sebagai bangsa Indonesia.
Saat ini warisan kebanggan sebagai orang Indonesia menjadi lemas dan lunglai. Indonesia sulit melepaskan diri dari jebakan hutang. Sudah sepuluh tahun terakhir pundi-pundi Negara yang sumber utamanya dari pajak tidak bisa penuh terisi sehingga terpaksa harus berhutang untuk menambal kebutuhan.
Rakyat selalu menuntut kepada Negara agar mencukupi seluruh kebutuhan rakyat dengan melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan menjaga perdamaian dunia. Negara memerlukan sumber dana yang jelas dan berkelanjutan pula untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat secara berkelanjutan. Pajak sebagai harapan utama Negara namun dalam sepuluh tahun terakhir penerimaan pajak terus mengalami deficit, tidak mencapai target. Adakah yang peduli dan merasa ikut bertanggung jawab dengan kekurangan dana Negara ini?
Seperti halnya orang merokok, mereka tahu dan sadar bahwa rokok merugikan kesehatan dan uangnya. Namun apakah kesadaran itu mampu menghentikan aktivitas merokok? Ini merupakan sifat dari orang munafik dan akibat dari sifat ini menimbulkan kerusakan dan tidak dapat merubah keadaan menjadi lebih baik. Perokok akan mederita sakit dan menyebarkan penyakit ke orang lain sedangkan ia tidak peduli terhadap kesehatan dirinya.
Kondisi anomaly dan sifat munafik sudah menjadi hal yang umum dan biasa di tengah masyarakat kita. Menurut Mochtar Lubis, sifat manusia Indonesia diantaranya adalah hipokrit alias munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, tidak hemat, cepat cemburu dan dengki, tukang tiru dan plagiat. Banyak pejabat, birokrat dan politikus tampil di depan public berjuang menegakan kebenaran namun ternyata terjerat kasus hukum yang memalukan.
Negara memanggil seluruh rakyatnya untuk berkontribusi dalam pembangunan Negara dengan cara membayar pajak. Siapa yang tahu, sadar dan peduli dengan panggilan Negara itu? Hampir semua yang tahu pangilan negara berusaha lari, mengindar atau sembunyi dari pajak.
Pajak yang harus masuk ke kas Negara tahun ini Rp. 1.294,5 T dan hingga November 2015 baru mencapai 69%. Dengan sisa waktu satu bulan, bisa dibayangkan bagaimana kondisi keuangan Negara. Siapa yang akan peduli, bertanggung jawab atau berkorban untuk menutup kekurangan kebutuhan dana untuk Negara?
Pemerintah berusaha memangil kepedulian rakyat terhadap pajak Negara dengan memberikan berbagai insentif yang intinya mengurangi pajak yang seharusnya disetor Wajib Pajak. Beberapa insentif tersebut antara lain ; kenaikan PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, Penghapusan sanksi pajak untuk Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT tahun pajak 2014 dan sebelumnya, penghapusan bunga penagihan pajak, revaluasi aktiva tetap yang semula tarifnya 10% final menjadi 3% kalau revaluasi dilakukan sampai Desember 2015, 4% untuk semester I dan 6% semester II tahun 20016.