Orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dalam fan tertentu, ya dijadikan guru, meski beda mazhab. Mereka biasa aja melihat perbedaan. Gak kagetan.Â
Ada beberapa orang Indonesia, jangankan melihat yang beda mazhab atau agama, kadang gara-gara hanya beda ormas saja, dipermasalahkan dan dilarang untuk beristifadah kepadanya.Â
Sangat rugi sekali kita, jika tidak ingin beristifadah kepada seseorang hanya karena beda mazhab ataupun aliran. Rugi sekali kita jika tidak membaca kitab Nahjul Balaghah, kumpulan hikmah sayyidina Ali, hanya gara-gara yang mengumpulkan adalah ulama Syiah, Syarif Radhi.Â
Alangkah rugi sekali kita, jika hanya karena Jahid adalah seorang Mu'tazilah, kita tidak mau membaca karya-karya sastranya yang indah. Ilmu tidak terikat oleh mazhab dan ormas, gaes.Â
Alhamdulillah di pondok pesantren YAPI Bangil , santri-santrinya diajarkan untuk menghargai karya siapapun meski boleh jadi tidak sesuai dengan ajaran sang guru besar Habib Husain Al-Habsy, makanya meski banyak orang menyangka bahwa Pesantren YAPI Bangil adalah pesantren Syi'ah tapi ketika penulis mondok di YAPI sholat keseharian memakai sholat madzhab Syafi'i yah bukan Syi'ah.
Begitupun ketika penulis kuliah jurusan Tafsir Hadits IAIN "SGD" Bandung dibiasakan mempelajari kitab-kitab tafsir dari beragama Mazhab, bahkan penulis menulis skripsi dengan Judul :
Manusia Dalam Tinjauan Tafsir Fi Zdilalil Qur'an : Sebuah Koreksi Terhadap Teori Darwin.
Jika kita masih fanatik dengan mazhab, ormas atau apapun itu dalam mempelajari ilmu, jangan salahkan kalau kita akan selalu terbelakang setiap saat.Â
SekianÂ
Penulis :Â
Mihdar Ketua Poktan BUTA (Bumi Tani Anugerah) dan Owner Rumah Makan BEBEK HAJI MIHDARÂ