Sebagai warga Malang, penulis tidak akan membahas secara khusus kiprah Aremania (suporter Arema), penulis juga tidak akan menyoroti secara khusus Bonek (suporter Persebaya).Â
Rivalitas kedua supporter itu semua sudah saling tahu. Dan sepertinya juga sudah mulai diturunkan ke para pemuda belia. Upaya pendoktrinan kebencian terhadap suporter lain sangat gencar.Â
Pembaca bisa melihat di sudut terminal, di toilet umum, di tembok rumah, di emperan toko, sepanjang jalan Malang-Surabaya hujatan terhadap suporter Bonek dan Aremania sangat massif. Rivalitas sempit yang terjadi antara oknum Aremania dan oknum Bonek.
Penulis menyebutnya oknum, karena tidak semua suporter menganggap lawannya orang yang harus dibenci. Penulis punya kedekatan kepada kedua suporter, mereka menghormati suporter yang lain.
Cukup prihatin ketika Arema bertanding ke Surabaya, mobil plat N diimbau tidak ke Surabaya, juga sebaliknya.Â
Memang seringkali kedua suporter bentrok ketika bertemu, tapi tidak seharusnya itu diabadikan menjadi permusuhan yang berlarut-larut, ditambah narasi dari media yang seakan Persebaya dan Arema musuh abadi.
Permusuhan itu seakan dibiarkan dan di anggap sebagai pemanis kompetisi sepak bola, padahal imbas permusuhan itu telah mengakibatkan kerugian yang sangat banyak, baik materi maupun korban jiwa.
Imbas dari permusuhan itu juga mengakibatkan warga kedua kota terbesar di Jawa Timur itu was-was, ketika berkunjung ke Surabaya atau Malang saat pertandingan sepakbola.
BELAJAR DARI PERISTIWA 73 TAHUN LALU
Perseteruan antara Bonek dan Aremania sebenarnya bukan permusuhan yang mengakar. Pemuda Surabaya dan Pemuda Malang justru mempunyai sejarah persaudaraan yang justru kental.Â
Pemuda Malang 73 tahun lalu tanpa diminta, berbondong-bondong ke Surabaya bukan untuk menggruduk pemuda Surabaya, melainkan membantu lahir batin warga Surabaya melawan kedatangan pasukan sekutu dengan nyawa sebagai taruhannya.Â