Di era globalisasi ini, kita bisa menikmati berbagai teknologi dan pengetahuan yang berkembang sangat cepat. Di era globalisasi ini, kita bisa merasakan bagaimana peralatan canggih dan serba mudah untuk dipergunakan. Akan tetapi, di era globalisasi ini kita masih kurang dalam memfilter segala yang berasal dar dunia luar, khususnya dari segi budaya.
Budaya barat memang bisa dikatakan paling popular di Indonesia ini. Mengapa demikian? Orang-orang lebih tertarik memakai pakaian yang “modern”-asalnya dari orang barat- dibandingkan dengan memakai batik yang sudah jelas itu adalah milik kita dan patut untuk dibanggakan. Budaya barat merusak tatanan moral dan akhlak kita, banyak sekali tontonan-tontonan yang memperlihatkan perlakuan kasar terhadap sesama, melawan orangtua, dan banyak lagi pengaruh buruknya.
Bukan berarti segala sesuatu yang berhubungan dari Barat itu semuanya ditolak tetapi justru kita lah yang harus memahamkan kepada orang lain (jika kita sudah mengerti arti dari membudayakan budaya Indonesia) bahwa Indonesia itu haruslah bangsa yang mempunyai mental kuat dan moral yang luhur. Masalahnya, sampai sekarang kita masih kurang dalam penyaringan budaya luar, misalnya film perkelahian remaja pun sudah bisa dinikmati semua kalangan, sinetron berbau kekerasan rumah tangga pun semakin merajalela. Jadi, tidak heran kalau misalkan anak-anak sering melawan kepada orangtua, banyak anak sekolah yang bolos, karena memang semua itu sudah ada “pedomannya”.
Seharusnya media sendiri ataupun produksi film di televisi itu sebanding dengan film-film yang sering ada di bioskop. Bukan berarti segi biayanya diharuskan sama tetapi pesan yang disampaikan film itu lebih bermakna, seperti motivasi untuk berprestasi, berbakti kepada orangtua, menjadi pemimpin yang baik, menjadi pribadi yang berakhlak mulia, atau banyak lagi. Kita sadari bahwa peran media sangat sentral dalam membuat masyarakat yang cerdas di segala aspek.
Berbicara tentang globalisasi, saya akan membawa anda ke tempat yang masih mempertahankan orisinalitas adat dan budaya nenek moyangnya. Insyallah banyak sekali manfaat yang akan didapat. Tempat itu bernama Kampung Naga. Apakah sebelumnya anda tahu apa itu Kampung Naga? Apakah penduduknya memelihara naga? Ataukah penduduknya memang naga? Tentu tidak, mari saya bawa ke asal muasal sampai adat Kampung Naga.
Tempat ini dinamakan Kampung Naga karena nama ini dipenggal dari bahasa sunda yaitu nagawir.naitu di dan Gawiritu pinggir sungai, jadi perkampungan yang berada di pinggir sungai dan supaya memudahkan menyebutkan nama kampung itu menjadi Kampung Naga.
Kampung Naga berlokasi di Rancak, Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat disana masih mempertahankan budaya leluhurnya dan tidak menerima begitu saja pengaruh dari luar, misalkan di Kampung Naga itu tidak ada penerangan lampu meskipun sudah mendapatkan tawaran dari pemerintah untuk program listrik masuk Kampung Naga. Mereka menolaknya karena dirasa tidak akan memberikan manfaat bagi mereka bahkan akan terjadinya kesenjangan sosial.
Jika sebelumnya warga Kampung Naga itu tidak memakai listrik, maka mereka tidak tahu mana yang kaya atau miskin dan terasa kebersamaannya dan kalaulah sudah ada listrik maka Pemangku adat mengkhawatirkan adanya kesenjangan sosial, seperti setelah ada listrik maka orang yang mampu akan membeli peralatan elektronik yang banyak, peralatan yang canggih, dsb. Sehingga orang lain akan memandang dia berbeda dengan yang lainnya dan untuk berbaur kembali dengan warga seperti biasa itu tidak mudah karena dirasakan sudah ada sekat.
Itu mungkin beberapa alasan mengapa warga menolak listrik masuk Kampung Naga. Disamping itu ketika mereka sudah memasuki malam, mereka akan tahu jelas kapan bulan purnama yang selalu menerangi bumi dan dengan sendirinya warga bisa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan bertafakur bahwa ciptaan Allah sungguh menakjubkan. Berbeda dengan orang yang berada di kota-kota besar, mereka tidak tahu kapan bulan purnama karena setiap hari terangnya bulan masih dikalahkan oleh lampu-lampu yang jumlahnya berjuta-juta bahkan lebih.
Mengenai adatnya, mereka mempunyai kerajinan tangan sendiri dan peralatan musik yang biasa digunakan untuk upacara-upacara adat. Semua warga Kampung Naga diharuskan mempunyai keahlian dalam memainkan peralatan musik tradisional dengan tujuan untuk melestarikan budaya daerah. Warga Kampung Naga diharuskan memiliki keahlian di alat musik tradisional dulu sebelum ahli dalam alat musik modern.. Jadi jangan heran kalau di perkampungan tersebut itu tidak ditemukan gitar, drum, dll.
Mereka juga memiliki komitmen yang kuat terhadap pelestarian lingkungan. Warga Kampung Naga dilarang untuk memasuki suatu hutan yang disebut hutan terlarang karena para pendahulunya mengatakan pamali yang berarti jangan dilakukan.