Menjadi buruh bukan merupakan keinginan saya. Apalagi menjadi aktivis buruh, sama sekali tidak terlintas di pikiran saya. Image negatif tentang aktivis buruh yang selalu anarkis adalah alasan kenapa masyarakat menilai buruk aktivis buruh. Termasuk juga saya.
Pernah juga dulu ketika demonstrasi zaman mahasiswa. Kebetulan waktu itu tanggal 1 Mei. Kami bergabung bersama forum buruh untuk melakukan aksi. Sebenarnya aksi berjalan lancar tetapi langsung ricuh ketika ada oknum buruh yang mengacau. Begitulah kira – kira saya awalnya memandang aktivis buruh identik dengan rusuh.
Hal unik yang saya cermati bahwa kenapa mahasiswa dan buruh itu berbeda dalam aksi demonstrasi. Terutama tentang ricuhnya. Faktor utamanya yaitu oknum. Buruh itu lebih banyak oknum pengacaunya ketika aksi dibanding mahasiswa. Inilah yang mencoreng citra buruh. Tujuan aksi itu sama saja, yaitu menyuarakan aspirasi. Sayangnya, banyak oknum buruh yang memanfaatkan suasana demonstrasi.
Demo, demo, dan demo. Itulah yang masih melekat di benak masyarakat ketika mendengar buruh. Jauh dari itu semua, ternyata pekerjaan buruh itu lebih luas. Ketika berkecimpung di dunia perburuhan, pandangan saya berubah. Ternyata permasalahan internal dalam menghadapi kebijakan perusahaan itu lebih rumit ketimbang demo saja.
Mulai dari lembur tidak di bayar, kewajiban perusahaan yang tidak dipenuhi, dan hak – hak pekerja lainnya yang perlu disuarakan menjadi agenda sehari – hari para aktivis. Sebenarnya kalau kita kaji masalah internal pun, kerja buruh itu sudah lebih dari cukup. Banyak dinamika yang terjadi di masalah internal perusahaan yang perlu diselesaikan.
Belum lagi ketika sudah masuk ranah pemerintah, politik, dan sebagainya. Sensivitas buruh harus cepat tanggap akan hal itu. Jangan sampai kebijakan tentang Undang – Undang ataupun Peraturan Pemerintah lainnya tidak disikapi dengan baik sehingga merugikan buruh. Sinkronisasi peraturan yang dikeluarkan pemerintah harus terus ada dengan perusahaan.
Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2015
Tepatnya 30 Juni 2015 dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Saya bukan pakar hukum atau ahli dalam perundang – undangan. Tetapi saya hanya mencoba merespon Peraturan Pemerintah tersebut. PP 45 dalam perspektif buruh. Bahwa ketika tidak ada kewajiban yang dilaksanakan oleh perusahaan maka disanalah posisi aktivis buruh memperjuangkan hak dan kewajiban rekan – rekannya.
Berdasarkan BAB I Pasal 1 PP 45 tahun 2015 “Jaminan Pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pension, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia”
Pada dasarnya PP 45 tahun 2015 ini bekerja bersama BPJS untuk mengelola jaminan pensiun. Jaminan pensiun ini sangat bermanfaat untuk pekerja. Sebelum ke manfaat pensiun, saya akan terlebih dahulu membahas tentang keanggotaanya.
Jika perusahaan tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta jaminan pensiun maka akan diberikan sanksi. Itulah letak ketidakadilan oleh perusahaan jika sampai sekarang ada perusahaan belum mendaftarkan karyawannya. Pasal 4 menyatakan “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara WAJIB mendaftarkan seluruh Pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan sebagai Peserta seusai penahapan kepesertaan berdasarkan peraturan perundang – undangan.”