(Sumber foto: Instagram Penyalin Cahaya @penyalincahaya)Â
Review Film Penyalin Cahaya (Photocopier)
Sudah lama juga saya tidak menulis ulasan film. Maka pada kesempatan ini saya ingin berbagi ulasan film yang sudah tayang di Netflix sejak Januari lalu. Judul filmnya adalah Penyalin Cahaya (Photocopier).Â
Film ini merupakan film panjang pertama karya sutradara Wregas Bhanuteja yang juga telah tayang pada World Premiere Busan International Film Festival 2021 pada Oktober silam. Bergenre thriller misteri, menjadi daya tarik tersendiri dari film ini. Langsung aja yuk, kita baca ulasan singkatnya.
Ulasan Singkat
Bercerita tentang Suryani (diperankan oleh Shenina Syawalita Cinnamon), seorang mahasiswi tingkat satu yang tergabung dalam kegiatan kemahasiswaan bernama Teater Matahari. Peran Sur dalam teater tersebut adalah membuat website untuk promosi dan juga memberikan informasi terbaru mengenai kegiatan teater.Â
Pada pertunjukannya yang terakhir, Teater Matahari berhasil memenangkan kompetisi lewat pentas Medusa yang sukses membuat mereka lanjut mengikuti kompetisi internasional.Â
Kemenangan mereka kemudian dirayakan secara meriah di rumah Rama (diperankan oleh Giulio Parengkuan), salah satu anggota teater yang juga menjadi penulis naskah. Suryani pun diundang ke acara tersebut karena jasanya mengelola website teater.
Sur pun datang ke acara pesta kemenangan tersebut bersama dengan Amin (diperankan oleh Chicco Kurniawan), teman kecil Sur yang juga tukang fotokopi di kampusnya. Dalam pesta tersebut Sur kemudian terlibat dalam sebuah permainan yang kemudian membuatnya bangun secara tidak sadar pada keesokan harinya.Â
Hidupnya berubah setelah ia harus kehilangan beasiswanya akibat swafotonya yang tersebar di sosial media pribadinya. Sur dianggap memiliki kelakuan tidak baik karena swafotonya yang sedang minum minuman keras.Â
Selain kehilangan beasiswanya, ia juga diusir oleh ayahnya (diperankan oleh Lukman Sardi) karena dianggap tidak mendengarkan nasihatnya untuk tidak meminum minuman keras. Merasa tidak pernah melakukan swafoto tersebut, Sur pun memulai penelusurannya untuk mengetahui apakah dirinya adalah korban perundungan.
Sur kemudian meminta bantuan Amin untuk memulai penelusurannya. Ia menumpang di tempat fotokopi Amin untuk menemukan kebenaran tentang swafotonya dan tentang malam pada pesta tersebut dengan meretas data-data anggota teater. Namun hasil penelusurannya bukan membuktikan bahwa dirinya korban perundungan, melainkan salah satu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota teater.Â
Ketika berusaha membuktikan bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual, bukan dukungan yang didapat melainkan ketidakadilan. Apa yang terjadi dengan Sur pada malam itu?Â
Siapakah yang melakukan kekerasan seksual terhadapnya? Bagaimana perjuangan Sur mengungkap fakta untuk mendapat keadilan? Untuk mendapat jawabannya, saya merekomendasikan untuk langsung menontonnya saja di Netflix. Film dengan durasi 2 jam lebih tersebut tidak terasa karena penelusurannya yang sangat seru dan plot yang tidak terduga.
Menguras Emosi
Setelah dua jam lebih menonton Penyalin Cahaya, emosi saya benar-benar terkuras. Penelusuran Sur yang awalnya ingin membuktikan perihal swafoto yang membuatnya kehilangan beasiswa, pada akhirnya menemukan fakta bahwa dirinya dilecehkan. Perubahan cerita yang sangat mulus, sukses memainkan emosi saya.Â
Sur yang tadinya ingin mempertahankan beasiswanya terpaksa harus mempertahankan harga dirinya dengan membuktikan bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual. Dari film ini kita disadarkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya dalam bentuk pemerkosaan saja, namun bisa dalam bentuk yang lain, seperti yang dialami Sur misalnya.
Dalam hal ini tentu saja soal konsensual atau persetujuan terutama ketika berkaitan dengan tubuh. Sayangnya masih banyak orang yang abai mengenai masalah ini. Ketika korban mencari keadilan pun, masih banyak kesulitan yang dialami mulai dituding mengada-ada, sampai tuduhan pencemaran nama baik ketika korban berusaha mengungkapkan fakta. Bahkan ada pula yang mengaitkan pakaian dengan tindakan pelaku.Â
Ironisnya ketika korban berusaha mengungkapkan fakta yang terjadi, bahkan orang terdekat pun terkadang ikut menyalahkan korban. Bahkan pelaku dapat berlindung dari balik kekuasaan dan uang. Ya, film ini pun membahas kekerasan seksual secara kompleks, masalah kesenjangan ekonomi, kekuasaan dan kesehatan mental dibahas pula dalam film ini.
Maka dari itu, mungkin di luar sana pun masih banyak Suryani lain yang mungkin enggan mengungkapkan fakta ketika mengalami kekerasan seksual. Namun sayangnya Penyalin Cahaya terlalu menggambarkan bahwa sosok pria adalah sosok jahat, bahkan ayahnya Sur sekalipun  terkesan jahat.Â
Hal lain yang menarik buat saya adalah tentang keamanan data. Seperti yang kita tahu peretasan data pribadi bukan hal yang baru saat ini. Penelusuran Sur pun mengajarkan penonton akan pentingnya menjaga keamanan pribadi. Bagian yang saya suka adalah cara Sur meretas data teman-teman teaternya, dibuat dengan teknis yang tidak berlebihan.Â
Dari awal film adegan pengasapan untuk pencegahan demam berdarah pun menarik perhatian. Saya pikir zargon menguras, menutup, mengubur pada awal film hanyalah slogan kampanye pencegahan demam berdarah saja. Namun ternyata zargon tersebut adalah sebuah metafor penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Menguras emosi, menutup mulut korban, dan mengubur kasus. Sungguh metafora yang cerdas dan tak bisa dimaknai secara biasa.Â
Banyak Mendapat Penghargaan
Tidak heran kalau film ini berhasil mencetak rekor sebagai film peraih Piala Citra terbanyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia, dengan memborong 12 piala. Sederet kategori yang berhasil diraih film ini pada perhelatan Festival Film Indonesia 2021 adalah: Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Penulis Skenario Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pencipta Lagu Tema Terbaik, Penata Musik Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, dan Penata Busana Terbaik.Â
Isu Kekerasan Seksual
Meski demikian, langkah Penyalin Cahaya menuju puncak panggung festival tidaklah mulus pasca beredar isu bahwa salah satu kru dari film tersebut pernah melakukan kekerasan seksual pada masa lalu. Hal ini tentu membuat sebagian orang berpikir bahwa film ini dibuat berdasarkan coping mechanism dari sang penulis skenario itu sendiri.Â
Menindaklanjuti hal tersebut, rumah produksi pun akhirnya menghapus nama kru tersebut pada bagian kredit film. Namun terlepas dari isu yang beredar tersebut, saya rasa Penyalin Cahaya memang pantas untuk mendapatkan penghargaan-penghargaan tersebut.Â
Alasannya karena memang pesan penting yang disampaikannya sangatlah mendesak. Bagaimana tidak, saat ini banyak sekali tindakan kekerasan seksual yang ada di masyarakat namun yang terjadi justru mereka cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual itu sendiri.Â
Agar tambah penasaran, di bawah ini saya lampirkan cuplikan filmnya. Semoga pesan dari film ini dapat sampai kepada masyarakat dengan baik, agar nantinya akan ada Suryani lain yang berani untuk buka suara dan berani untuk melawan pelaku kekerasan seksual. Saatnya penyintas buka suara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H