Mohon tunggu...
Kang Dri An
Kang Dri An Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger pemula yang hobi menonton film, traveling, dan wisata kuliner

Newbie Blogger, Rookie Traveler, Movie Enthusiast, Joy Seeker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adakah Hari Esok?

11 November 2021   15:31 Diperbarui: 11 November 2021   15:34 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di antara karamnya sang surya pada awal senja dan koar burung camar yang terdengar samar-samar, langkahnya melaju perlahan menyambut ombak datang dengan tenang. Dinginnya menyergap seolah dapat membekukan perasaan dalam hati. Perempuan itu jadi menaruh curiga; jangan-jangan ibunya sengaja mengirimnya kemari bukan untuk menyegarkan suasana hati, tetapi untuk mendukungnya menenggelamkan diri. Sebab Luwuk punya ratusan pantai yang indah dan sepi, tinggal pilih saja pemandangan terindah untuk melatari momen yang terakhir.

Laut menyambut tubuh perempuan itu dengan sensasi menyakitkan, menghunjaminya dengan dingin yang menusuk bagaikan seribu pisau. Di bawah air semua indranya mati rasa. Seakan tiap inchi dirinya telah terurai oleh gulungan ombak yang ganas menghentak. Perempuan itu tidak lagi bisa merasakan pasir yang mengulum kaki telanjangnya. Langkahnya melayang-layang kehilangan pijakan. Napasnya pendek-pendek dipangkas udara beku. Jantungnya berdebar terlalu cepat sampai terasa ingin keluar melompat.

Kau tahu, kalau begini cara kematian menjemputmu, rasa-rasanya kau justru malah akan rindu.

Sebab di balik semua sakit yang menerjangnya sampai ke ujung nyawa, perempuan itu justru merasa seperti bertemu kawan lama. Jangan-jangan, selama ini ada yang salah dengan isi kepalanya. Bukan perkara masalah duniawi yang membuatnya hengkang dari permukaan bumi. Ia bukannya ingin mati, tetapi justru ingin merasa hidup. Siapa kira dengan cara menyentuh kematianlah ia bisa merasa kembali utuh? Kenangannya mungkin telah hilang selamanya dan tak akan pernah kembali, tetapi rasa familier yang menghinggapi hatinya ini akan selalu ada di sini.

Adiktif.

Tubuhnya pun dibiarkan menyerah pada arus yang menyeretnya semakin dalam. Menggiringnya ke pelukan laut lepas. Menariknya turun ke dasar. Tidak menyadari bahwa beberapa pasang mata sudah melabuhkan atensi padanya dari kejauhan. Bahwa sesungguhnya perempuan ini telah melanggar batas privasi seseorang. Di bawah permukaan air, kelopak matanya yang terasa berat melawan suhu dipaksa membuka. Lalu samar-samar ia bisa melihat bayangan-bayang mereka yang sudah lama meninggalkan dirinya memanggilnya pulang.

Tetapi pulang ke mana? Pada siapa?

Perempuan itu memejamkan kedua mata. Paru-parunya mulai kehabisan udara. Dadanya sesak luar biasa, kembang kempis, dengan sepasang paru-paru yang bagaikan hendak meledak seperti kembang api di angkasa. Tubuh perempuan itu mengejang seiring nyawa yang mulai meregang. Lalu membuka kelopak mata untuk kemudian melihat sosok yang menyerupai dirinya ketika kecil di hadapannya. Tersenyum lebar seraya mengulurkan tangan padanya. Di dalam kepalanya ia mendengar sosok itu memanggil namanya penuh tawa canda, dilatari suara detak jantungnya sendiri.

Saudari kembarnya yang telah lama meninggal, tenggelam di sebuah danau pada suatu musim panas. Adakah ini ilusi atau benar roh kembarannya yang menggentayangi? Menjelma menjadi malaikat maut yang diutus untuk menjemput dirinya, menuntut balas sebab dirinyalah yang mendorong saudarinya dan membiarkannya tenggelam tanpa memberikan pertolongan. Kini perempuan itu hanya bisa merasakan penderitaan yang pernah saudarinya alami. Perih. Sakit. Sekarat. 

“Please... Please don’t leave me alone...” pintanya lirih diwarnai isak yang lepas tak terkendali. 

Jiwanya ibarat terapung di perbatasan antara realita dan mimpi. Bak sedang mengambang di lautan lepas, hanya kepalanya yang masih di atas permukaan air, menjaga agar dirinya tetap bisa bernafas dan mempertahankan kesadarannya. Sedang sisa bagian tubuhnya yang lain sudah nyaris menyerah; tak sanggup membuat kepala itu terus menyembul demi mendapatkan asupan udara selama yang memungkinkan. Ada beban yang menggelayuti kedua kaki dan lengannya, berusaha menarik tubuhnya turun dan tenggelam semakin dalam.

Betapa perempuan itu mendambakan kehadiran Tuhannya layaknya ia mendamba hujan. Sebab hanya kasih dan sejuknyalah yang dibutuhkan perempuan itu untuk membuat dirinya kembali suci setelah semua cobaan yang harus dilaluinya, mengatasi rasa takutnya setiap hari. Jadi, ketakutan seperti apakah yang dialaminya setiap hari, sampai kematian bukanlah hal yang asing baginya karena setiap melihat danau perasaannya selalu ingin menenggelamkan dirinya. Namun lagi-lagi perempuan itu selamat, dan harus mengatasi rasa takutnya esok hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun