Dalam deru mesin dan klakson yang menderu, Â
Ada suara-suara yang tertinggal, tak terdengar. Â
Di balik gedung-gedung tinggi yang mengejar langit, Â
Tersembunyi nyanyian sunyi, meronta dalam sepi.
Langkah-langkah kaki berlari, mengejar bayang mimpi, Â
Namun di sudut-sudut jalan, ada wajah-wajah tanpa arti. Â
Mereka yang terpinggirkan, tak tersentuh gemerlap malam, Â
Menanti pagi dengan hati yang penuh kelam.
Di antara hiruk-pikuk pasar dan pusat perbelanjaan, Â
Ada jeritan tanpa suara dari bibir yang terbisu. Â
Orang-orang berlalu tanpa menoleh, tanpa sapa, Â
Meninggalkan duka di setiap lorong tanpa cahaya.
Di bawah jembatan, di atas trotoar lusuh, Â
Ada anak-anak kecil yang menggenggam angan rapuh. Â
Mata mereka memandang jauh, menembus kenyataan pahit, Â
Menggantungkan harapan di udara yang pengap dan kering.
Nyanyian sunyi itu adalah rintihan ibu-ibu yang terbangun di subuh, Â
Membanting tulang demi sesuap nasi untuk keluarga tercinta. Â
Adalah tangisan para buruh yang tertindas oleh sistem, Â
Mereka bekerja keras, namun tetap terhempas di batas impian.
Kota ini penuh bising, penuh janji yang tak ditepati, Â
Namun di setiap sudutnya, ada kisah yang terlupakan. Â
Nyanyian sunyi itu adalah suara-suara hati yang terpinggirkan, Â
Mereka yang mencari tempat dalam keramaian, Â
Namun tetap terjebak dalam kesunyian.
Biarlah puisi ini menjadi saksi, Â
Bahwa di balik gemuruh kota yang tak pernah tidur, Â
Ada jiwa-jiwa yang mencari arti, Â
Di dalam nyanyian sunyi mereka, ada harapan yang tak pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H