Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Monolog:

12 Juni 2024   13:58 Diperbarui: 12 Juni 2024   15:21 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika kita mendengar kata "pengangguran", yang terlintas di benak kita hanyalah angka-angka. Persentase, statistik, grafik yang menanjak dan menurun. Tapi, pernahkah kita berhenti sejenak, mengalihkan pandangan dari lembaran kertas dan layar komputer, dan mencoba melihat apa yang ada di balik angka-angka itu?

Di balik angka pengangguran, ada nama-nama. Ada wajah-wajah yang lelah. Ada cerita-cerita yang penuh dengan kekecewaan dan harapan yang kandas. Seperti namaku, misalnya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang masuk dalam kategori "pengangguran". Nama: Arif. Usia: 28 tahun. Pendidikan: Sarjana Teknik. Status: Pengangguran.

Setiap pagi aku bangun dengan harapan. Pakaian rapi, sepatu mengkilap, dokumen siap. Berangkat mencari pekerjaan seperti prajurit yang siap bertempur. Tapi, pulang dengan tangan kosong. Senyum memudar, semangat meredup. Aku tidak sendiri. Ada Ribka, ibu dua anak yang kehilangan pekerjaannya di pabrik. Ada Budi, lulusan universitas ternama yang kini menjadi tukang parkir. Ada Siti, yang bermimpi menjadi guru tapi terpaksa bekerja serabutan demi sesuap nasi.

Berita utama hari ini: "Tingkat Pengangguran Meningkat Hingga 7%". Seolah-olah kami hanyalah statistik yang bisa dibolak-balik semaunya. Namun, bagi kami, setiap persen itu adalah perjuangan. Setiap kenaikan angka adalah cerita patah hati. Setiap penurunan angka adalah harapan yang menggantung.

Di balik angka pengangguran, ada keluarga yang hancur. Anak-anak yang harus bersekolah tanpa bekal cukup. Suami istri yang bertengkar karena uang belanja yang tak cukup. Ada mimpi-mimpi yang dipaksa untuk dikubur. Aku ingat, dulu aku bermimpi menjadi seorang insinyur hebat, membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan kota dan desa. Tapi sekarang, jembatan itu hanyalah angan yang jauh di seberang realita.

Di balik angka pengangguran, ada mental yang tertekan. Ada rasa rendah diri yang terus menggerogoti. Setiap kali ada acara keluarga, setiap kali bertemu teman lama, selalu ada pertanyaan yang menusuk, "Sudah kerja di mana sekarang?" Dan aku hanya bisa tersenyum pahit, mencoba menjawab dengan santai, tapi hatiku bergetar hebat.

Namun, di balik angka pengangguran, juga ada harapan. Harapan untuk masa depan yang lebih baik. Harapan untuk perubahan. Harapan bahwa suatu hari nanti, angka-angka itu bukan lagi cerita suram, tapi kisah kebangkitan. Kita bukanlah sekadar statistik. Kita adalah manusia dengan mimpi dan harapan.

Jadi, ketika Anda melihat angka pengangguran, ingatlah, ada kami di baliknya. Ada perjuangan, ada air mata, ada tawa yang tertahan, ada harapan yang belum padam. Kami adalah lebih dari sekadar angka. Kami adalah suara-suara yang menanti didengar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun