Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kelas pekerja. Di tengah dinamika politik dan ekonomi yang terus berkembang, muncul dua konsep besar yang sering menjadi perdebatan publik: Marhaenisme dan Omnibus Law.Â
Marhaenisme, yang diusung oleh Sukarno, menekankan pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat kecil, sementara Omnibus Law, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja, diklaim sebagai solusi untuk meningkatkan investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
 Artikel ini akan mengeksplorasi pertarungan antara Marhaenisme dan Omnibus Law, serta implikasinya bagi masa depan Indonesia.
Marhaenisme: Warisan Sukarno
Marhaenisme adalah ideologi yang diperkenalkan oleh Sukarno, yang diambil dari nama seorang petani miskin bernama Marhaen yang ditemuinya di Bandung. Ideologi ini berfokus pada perlawanan terhadap imperialisme dan kapitalisme, serta memperjuangkan keadilan sosial bagi kaum marhaen atau rakyat kecil. Marhaenisme menekankan pentingnya kedaulatan nasional, distribusi kekayaan yang adil, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Dalam praktek, Marhaenisme menginginkan agar sumber daya alam Indonesia dikelola oleh bangsa sendiri untuk kemakmuran rakyat. Program-program seperti reforma agraria, nasionalisasi perusahaan asing, dan pembangunan industri nasional adalah upaya konkret untuk mewujudkan visi ini. Marhaenisme juga menekankan pentingnya pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyat, agar mereka dapat hidup layak dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.
Omnibus Law: Kebijakan Kontroversial
Di sisi lain, Omnibus Law, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020, bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan menarik investasi asing. Pemerintah berargumen bahwa undang-undang ini akan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya saing, dan mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Omnibus Law mencakup berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan, investasi, lingkungan, dan perpajakan.
Namun, undang-undang ini menuai kontroversi karena dianggap lebih menguntungkan investor daripada pekerja. Kritik utama adalah bahwa Omnibus Law mengurangi perlindungan tenaga kerja, melemahkan hak-hak buruh, dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Banyak pihak, termasuk serikat pekerja, aktivis lingkungan, dan akademisi, menilai bahwa kebijakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat kecil.