Janji politik untuk kaum buruh sering kali menjadi topik sensitif karena banyak dari mereka telah kecewa dengan janji-janji yang tidak dipenuhi di masa lalu. Namun, janji-janji politik yang berfokus pada peningkatan upah, perlindungan hak pekerja, pembangunan infrastruktur yang mendukung lapangan kerja, serta penyediaan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang terjangkau dapat menjadi langkah-langkah yang diharapkan oleh kaum buruh. Yang penting, kepercayaan dan tanggung jawab dalam memenuhi janji-janji tersebut haruslah menjadi prioritas bagi para pemimpin politik.
Naluri mempertahankan kekuasaan, kata filsuf politik Hannah Arendt, telah menyebabkan politik selalu mendekat kepada kebohongan. Politisi sangat gandrung mengumbar janji-janji. Sekalipun, dalam banyak kasus, janji-janji sangat sulit---atau sengaja---untuk tidak direalisasikan.
Seperti halnya Omnibus Law Cipta Kerja yangmemang menuai beragam pendapat. undang-undang tersebut merugikan buruh karena beberapa ketentuan yang diubah atau dihapus.
Omnibus Law Cipta Kerja mengorbankan hak-hak pekerja dan lingkungan demi kepentingan bisnis. Kita mengkhawatirkan potensi penurunan standar kerja, hilangnya jaminan sosial, dan deregulasi lingkungan.
Kebijakan Omnibus Law ini bernuansa "sogokan". Namanya saja kado, seringkali hanya diberikan sekali waktu dan menikmatinya sesaat. Terlihat sekali bahwa kebijakan ini sangat parsial dan tidak menyentuh akar persoalan. Selain itu, dampaknya juga belum tentu bisa dirasakan oleh seluruh buruh Indonesia.
Selain itu, penggunaan kata "kado" sangat menyesatkan. Seolah-olah semua program itu adalah karena kebaikan Jokowi. Padahal, soal kesejahteraan buruh memang tanggung jawab pemerintah, terutama Presiden Jokowi. Dan, karena sifatnya tanggung-jawab, apa yang dijanjikan Jokowi belumlah "membayar tunai" apa yang menjadi kewajibannya bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia.
Pertama, janji Jokowi tidak menjawab gugatan mendasar kaum buruh: politik upah murah, sistim kerja kontrak dan outsourcing, pelarangan berserikat, dan pelaksanaan jaminan sosial bagi kaum buruh.
Tengoklah! Ketika kaum buruh berbaris di jalanan, teriakan mereka tidaklah menjauh dari isu-isu di atas. Politik upah murah, misalnya, telah menyebabkan kehidupan kaum buruh dan keluarganya sangat merosot. Upah buruh di Indonesia disebut-sebut terendah di Asia Tenggara. Belum lagi, kebijakan sistim kerja kontrak dan outsourcing telah menciptakan tidak adanya kepastian kerja.
Ironisnya, sebagian besar persoalan itu bermuasal dari kebijakan negara yang memang sangat berorientasi kepada nafsu kapitalis untuk menggali keuntungan semata. Ini dilegalisasi sedemikian rupa dengan lusinan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri.
Kedua, Presiden Jokowi seharusnya mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menyelamatkan industri nasional. Sebab, kehancuran industri nasional juga merupakan momok tak kalah menakutkan bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia.