Isu konflik agraria tidak bisa dianggap enteng. Mengacu ke catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam 7 tahun terakhir, yakni dari 2015 hingga 2022, konflik agraria meningkat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, ada 2.710 kejadian berkaitan dengan konflik agraria dalam kurun 2015-2022 atau hampir 10 tahun pemerintahan Joko Widodo efektif berjalan.
Dampak yang ditimbulkannya juga tidak main-main. Pada tahun 2022 lalu, ada 29 orang petani yang tewas akibat konflik agraria. Belum lagi, Sebanyak 77 orang menjadi korban penembakan sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Dan selama kurun waktu yang sama, sedikitnya 1.615 warga ditangkap polisi dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.
isu konflik agraria ini juga harus ditelisik dampak sosial-ekonominya. Saya kira, konflik agraria ini bukan hanya soal konflik perebutan lahan, tetapi juga perebutan faktor produksi, sumber daya, dan ruang kehidupan.
Dalam banyak kasus, konflik agraria ini berujung pada eksklusi atau penyingkiran terhadap rakyat marhaen, terutama petani dan masyarakat adat, dari alat-alat produksi, sumber daya, dan ruang kehidupan. Bayangkan, jika dalam setahun ada 130 ribu keluarga yang terseret dalam konflik agraria, berarti ada jutaan orang warga negara yang mengalami proses eksklusi dari ruang sosial-ekonominya.
Yang perlu dilihat, pertama, ada korelasi antara peningkatan jumlah kasus konflik agraria dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang mengarah ke liberalisasi ekonomi, termasuk sektor agraria. Tidak percaya? sebagian besar konflik agraria di Indonesia meletus di sektor perkebunan, infrastruktur, pertambangan, dan kehutanan. Di sisi lain, seiring dengan kebijakan liberalisasi investasi, jumlah kapital yang berduyung-duyung masuk ke sektor tersebut juga banyak.
Selain itu, ekspansi kapital yang sangat masif, terutama yang berbasiskan eksploitasi sumber daya alam, membutuhkan penguasaan atas tanah dan ruang yang mengandung kekayaan alam (mineral, hutan, minyak, gas, batubara, dll). Inilah yang mendorong penyingkiran terhadap terhadap penduduk yang mendiami atau sedang berusaha di atas tanah/teritori tersebut.
Di sini, pemerintah memainkan dua peran dominan. Satu, menyiapkan regulasi yang meliberalkan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya tersebut. Dua, memberikan jaminan keamanan bagi ekspansi kapital itu, termasuk membantu penyingkiran penduduk di atas tanah atau ruang yang hendak dicaplok oleh investor. Ini terbukti dengan pelibatan TNI/Polri dalam penanganan konflik agraria.
Kedua, konflik agraria ini juga mencerminkan menajamnya ketidakadilan agraria di Indonesia. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,58. Ditambah lagi, seiring dengan liberalisasi sektor agraria, terjadi praktek penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam. Juga penciptaan payung hukum yang memungkinkan swasta/korporasi bisa memonopoli kepemilikan tanah yang luas.
Dan Ketimpangan Ketimpangan Terkait Dengan Tanah Lainnya.
Karena itu, saya kira, penyelesaian konflik agraria tidak akan mungkin efektif jika tidak menyentuh langsung ke akar persoalan. Maksudnya, penyelesaian konflik agraria harus koheren dengan langkah mengubah model kebijakan ekonomi saat ini, termasuk di sektor agraria. Jadi, pembentukan Panitia Ad-hoc saja belum cukup. Pembentukan Panitia Ad-Hoc, bila tidak disertai dengan upaya mengubah kebijakan ekonominya, justru akan menjadi alat kanalisasi terhadap radikalisasi petani dalam memperjuangkan haknya atas tanah.