Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neoliberalisme dan Kesenjangan Ekonomi

27 November 2023   07:02 Diperbarui: 27 November 2023   07:08 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Neoliberalisme adalah pendekatan ekonomi yang menekankan pada pasar bebas, deregulasi, privatisasi, dan pemotongan pengeluaran publik. Salah satu dampak yang sering dikaitkan dengan kebijakan neoliberalisme adalah meningkatnya kesenjangan ekonomi di beberapa negara.

Beberapa aspek neoliberalisme yang terkait dengan kesenjangan ekonomi adalah:

1. **Pasar Bebas yang Tidak Diatur:** Pendekatan neoliberalisme yang menganut konsep pasar bebas bisa menyebabkan peningkatan kesenjangan ekonomi karena kurangnya regulasi yang memadai untuk mengontrol distribusi kekayaan dan kesempatan ekonomi. Ini bisa mengakibatkan konsentrasi kekayaan pada sejumlah kecil orang atau perusahaan besar.

2. **Privatisasi dan Deregulasi yang Ekstensif:** Langkah-langkah privatisasi yang diambil dalam kerangka neoliberalisme seringkali memperkuat dominasi sektor-sektor tertentu, sementara sektor lain yang lebih masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur umum terpinggirkan. Hal ini bisa meningkatkan kesenjangan dalam akses terhadap layanan dan peluang.

3. **Pemotongan Pengeluaran Publik:** Kebijakan pemotongan anggaran publik dalam kerangka neoliberalisme dapat mempengaruhi layanan-layanan publik yang esensial, terutama bagi lapisan masyarakat yang rentan. Ini dapat memperdalam kesenjangan antara mereka yang mampu membayar layanan pribadi dengan mereka yang bergantung pada layanan publik.

Dalam konteks kesenjangan ekonomi, pendekatan neoliberalisme seringkali dituduh memperkuat konsentrasi kekayaan dan kesempatan di tangan segelintir individu atau kelompok, yang kemudian menyebabkan pertumbuhan kesenjangan ekonomi antara kelas-kelas sosial yang berbeda.

Namun, perlu dicatat bahwa dampak kebijakan neoliberalisme bisa bervariasi tergantung pada implementasinya di suatu negara tertentu. Analisis dampak kebijakan ekonomi ini sering melibatkan banyak faktor yang kompleks dan bisa memiliki interpretasi yang berbeda di berbagai konteks sosial, politik, dan ekonomi.

Di Indonesia, kebijakan neoliberalisme telah mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyebabkan kesenjangan ekonomi yang meningkat antara kaya dan miskin serta antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut cenderung memberi keuntungan lebih kepada sektor-sektor tertentu dan kurang merata dalam distribusi manfaatnya. Upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut memerlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada seluruh lapisan masyarakat

Memang tak salah Presiden Jokowi menabur optimisme kesana sini dalam menatap ekonomi Indonesia kedepan jelang 100 Tahun Indonesia Merdeka 2045. Namun, jika tidak berbasiskan indikator objektif, boleh jadi optimisme itu sekaligus kesuraman. Apalagi, seperti kita ketahui, kesenjangan ekonomi di Indonesia juga makin menganga. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam setahun terkahir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2023 menjadi 0,388. Padahal, pada tahun 2022, gini rasio Indonesia masih 0,381.

Ketimpangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin di perkotaan juga semakin lebar yaitu antara hampir 49% (20% penduduk teratas) dan 16,99% (40% penduduk terbawah). Sedangkan ketimpangan di desa terlihat lebih moderat dengan nilai pembagian pendapatan 21,18% bagi penduduk miskin (40% terbawah), sedangkan penduduk kaya sebesar 40% (20% penduduk teratas). Gap distribusi pengeluaran yang tidak terlalu besar di pedesaan dibanding perkotaan. Total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia terus meningkat. Tahun lalu, total kekayaannya mencapai US$119,72 miliar, naik dibanding 2016 sebesar US$92,91 miliar. Nilai tersebut bahkan melonjak 317,1 persen dalam 10 tahun terakhir.

Kebijakan neoliberal, yang begitu terstruktur, sistematis, dan masif diterapkan satu dekade terakhir, memicu peningkatan kesenjangan pendapatan di Indonesia. Pertama, Kebijakan neoliberal sangat memfasilitasi perdagangan bebas barang dan jasa, yang ditandai dengan penghapusan segala bentuk tarif dan bea impor. Hal ini membawa dampak berantai terhadap ekonomi rakyat marhaen: kehancuran usaha (produsen) kecil dan menengah; kehancuran pertanian lokal; kehancuran industri dalam negeri. Situasi ini mendorong proses penyingkiran rakyat miskin dari alat-alat produksinya.

Kedua, Pemerintah semakin bergantung pada modal asing. Untuk itu, pemerintah menempuh segala macam cara untuk menarik investasi. Misalkan, untuk menarik minat investor asing, pemerintah mengurangi pajak bagi perusahaan multi-nasional. Kebijakan ini menyebabkan melambatnya pendapatan negara dari pajak. 

Sebagai gantinya, pemerintah akan menaikkan pajak untuk pelaku usaha di dalam negeri atau menciptakan berbagai jenis pajak untuk rakyat marhaen. Ini berkontribusi pada pendalaman ketimpangan pendapatan: di satu sisi, perusahaan multinasional mendapatkan keuntungan yang luar biasa, sedang di sisi lain, rakyat miskin dipaksa membayar kerugian yang mereka tinggalkan.

Cara lain untuk menarik investasi asing adalah deregulasi pasar tenaga kerja. Rezim upah minimum harus dihapuskan. Dengan begitu, negosiasi upah akan dialihkan menjadi negosiasi pemberi kerja dan pekerja. Pada saat bersamaan, diberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Di lain pihak, peranan dari serikat serikat pekerja harus dilemahkan atau bahkan dihancurkan.

Ketiga, swastanisasi besar-besasan terhadap perusahaan negara. Swasta dianggap satu-satunya agen tunggal dalam perekonomian yang sanggup beroperasi di bawah hukum persaingan. Privatisasi mendorong pengalihan kekayaan negara kepada modal swasta. Selain itu, privatisasi perusahaan negara memaksa rakyat miskin membayar mahal hasil produksi atau jasa yang dijual oleh perusahaan yang sudah diprivatisasi tersebut.

Keempat, akibat kehancuran sektor-sektor produktif negara dan berkurangnya penerimaan negara dari pajak, negara semakin bergantung pada utang luar negeri. Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini membawa negara dalam situasi seperti "terperangkap". Misalkan, kreditor kemudian membuat ketentuan agar APBN diprioritaskan pembayaran cicilan utang ketimbang ketimbang domestik. Argumentasi mereka sederhana: itikad baik membayar utang akan menambah kepercayaan investor asing.

Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu, anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan dihapus.

Sebaliknya, bagi kita, tekanan untuk membayar utang dan cicilannya berdampak pada berkurangnya kemampuan negara untuk belanja modal dan belanja sosial. Pada prakteknya, anggara untuk belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, dipangkas. Tak hanya itu, anggaran untuk subsidi, seperti subsidi energi dan pertanian, juga perlahan-lahan dihapus.

Kelima, penyerahan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, air minum yang bersih, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, kepada mekanisme pasar. Akibatnya, layanan dasar tersebut menjadi "barang mewah" di mata rakyat marhaen. Biaya dari kenaikan harga layanan dasar itu harus ditanggung individu sebagai penerima manfaat. Pada aspek ini, konsep warga negara telah dihilangkan dan diganti dengan konsumen.

Ketimpangan ekonomi sebetulnya tidak perlu terjadi jikalau kita konsisten menjalankan konsep demokrasi ekonomi. Oleh para pendiri bangsa, konsep demokrasi ekonomi ini dirancang untuk melahirkan kesejahteraan sosial. Dan, garis besar dari prinsip demokrasi ekonomi ini sudah diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Sayang, para penyelenggara negara saat ini tidak pernah dan mungkin tidak akan mau menjalankannya. Sebaliknya, mereka justru menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang didiktekan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun