Publik kembali dikejutkan dengan berita penambahan modal Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century yang berganti nama menjadi Bank Mutiara. Nilainya pun tidak tanggung-tanggung, Rp1.249,48 milliar (Press release LPS 23 Desember 2013). LPS berargumen injeksi modal tersebut untuk memenuhi Peratuan Bank Indonesia No. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Dalam peraturan tersebut, bank dengan profil risiko peringkat 4 atau 5 harus memiliki Capital Adequacy Ratio (CAR) minimal antara 11% – 14%. Tindakan LPS ini membuat masyarakat heran. Apakah bank tersebut masih berisiko sistemik sehingga harus di bail-out lagi? Risiko Sistemik Bank Mutiara Menarik untuk dikaji. Apabila suatu bank pernah dinyatakan berdampak sistemik, apakah selamanya sistemik? Dengan kata lain, jika Bank Century di tahun 2008 dinilai berdampak sistemik, apakah sekarang masih sistemik? Secara teori, tentu bisa berubah. Sebagaimana kita ketahui, salah satu faktor utama yang mempengaruhi risiko sistemik adalah kondisi makro ekonomi. Kejatuhan Bank Century saat itu dikhawatirkan memicu terjadinya krisis di tanah air akibat pengaruh krisis keuangan global. Jadi, meskipun tergolong bank kecil, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terpaksa harus menyelamatkan bank tersebut. Kondisi sekarang tentu berbeda. Kondisi ekonomi saat ini lebih baik daripada tahun 2008. Jika tidak berisiko sistemik, mengapa Bank Eks-Century tersebut tidak dilikuidasi saja? Mengapa LPS memilih untuk menambah modal? Penetapan Risiko Sistemik Untuk menjawab pertanyaan tersebut, siapa yang berwenang menetapkan risiko sistemik? Setelah KSSK yang dibentuk melalui Perpu JPSK dihapus, kewenangan tersebut diberikan kepada Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sesuai Pasal 45 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Forum ini beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Masalahnya, forum tersebut hanya berwenang untuk menentukan nasib bank yang sudah diyatakan gagal. Yaitu gagal memenuhi persyaratan modal minimum yang ditetapkan otoritas pengawas bank (kewenangan tersebut akan dialihkan dari BI kepada OJK pada tahun 2014). Kalau masih sehat, penanganan ada ditangan otoritas pengawas bank. Dalam kasus ini, apabila LPS menolak tambahan setoran modal, pengawas bank bisa menetapkan Bank Mutiara sebagai bank gagal. Selanjutnya, BI bisa membawa ke FKSSK jika bank ini ditengarai berdampak sistemik. Dengan demikian, selama LPS sanggup menambah modal bank, maka FKSSK tidak bisa campur tangan. Penambahan Modal oleh LPS Pertanyaan berikut, mengapa LPS ‘nekat’ melakukan setoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) tanpa persetujuan FKSSK? Atau persetujuan DPR? Mengacu pada UU No. 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jika bank gagal dinyatakan berdampak sistemik, LPS tidak punya opsi lain kecuali menyelamatkan bank tersebut. Sebagai pemegang saham, LPS diwajibkan untuk menjaga kondisi kesehatan bank sesuai ketentuan otoritas pengawas perbankan. Sampai kapan? Sampai LPS bisa menjual bank tersebut, selambat-lambatnya hingga tahun ke-6. Dapat ditafsirkan bahwa dalam periode tersebut, LPS tidak boleh membiarkan bank-nya menjadi insolvent. Oleh karena itu, LPS justru melanggar UU jika membiarkan Bank Mutiara jadi bank gagal. Mengenai penambahan modal yang berkali-kali, dalam UU LPS tidak ada larangan secara eksplisit atas hal tersebut. Bukankah penambahan modal sebelumnya pun dilakukan dalam beberapa tahap, tidak sekaligus? Terkait dengan ijin dari DPR, sekali lagi dalam UU LPS kewenangan tersebut sudah diamanatkan spepenuhnya kepada LPS. Ijin dari presiden sekalipun tidak diperlukan. Penyertaan modal sementara menggunakan premi yang dikumpulkan dari bank peserta program penjaminan. Dengan demikian, ijin DPR tidak diperlukan karena tidak menggunakan dana APBN. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan dua hal pokok. Pertama, apabila FKSSK (dulu KSSK) menyatakan suatu bank gagal berdampak sistemik, maka LPS diwajibkan untuk menyelamatkan bank tersebut at any cost.Kedua, FKSSK tidak punya kesempatan untuk “meninjau ulang’ keputusannya karena LPS tidak boleh membiarkan bank tersebut insolvent kembali. Tentu banyak pihak tidak sepakat dengan “the rule of game” tersebut. Namun demikian, tidak sepantasnya menghakimi “pemain” yang patuh mengikuti aturan main yang berlaku. Jika punya alternatif solusi yang lebih baik, silahkan revisi dulu aturan yang saat ini berlaku. Untuk meminimalisir kontroversi, LPS dan BI dituntut untuk lebih terbuka. Dalam siaran pers-nya LPS hanya menyatakan telah melakukan PMS sebesar Rp1.249,48 miliar. Publik tentu ingin tahu detail perhitungan terkait kebutuhan dana sebesar itu. Penjelasan tersebut penting untuk meredam spekulasi bahwa penyertaan modal tersebut terkait “logistik” untuk pemilu tahun 2014. Atau kerena ketidakcakapan LPS dan manajemen bank yang baru. Selain itu, terbitnya Peraturan BI No. 14/18/PBI/2012 tentu berlaku untuk semua bank. Oleh karena itu, ada baiknya BI menyampaikan informasi mengenai bank mana saja yang terkena dampaknya. Apakah bank-bank tersebut sudah melakukan pemenambahan modal sebagaimana halnya LPS? Kita berharap kegaduhan kasus ini tidak menggangu upaya manajemen dan LPS untuk memperbaiki kinerja Bank Mutiara. Tahun 2014 adalah kesempatan terakhir LPS untuk menjual bank tersebut. Kalau kontroversi semakin meningkat, sulit tentunya menjual dengan harga yang optimal. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H