Mohon tunggu...
Deni Ridwan
Deni Ridwan Mohon Tunggu... Akuntan - Just call me KangDeni

Pengamat pasar keuangan dan pasar kaki lima

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Urgensi Undang-undang Penjaga Stabilitas Keuangan

22 Oktober 2014   01:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:12 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di penghujung jabatannya sebagai wakil presiden, Boediono masih menyimpan “kegalauan” terkait dengan belum adanya payung hukum untuk penanganan krisis.  Payung hukum yang dimaksud adalah Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dalam wawancara khusus dengan Kompas (20 Oktober 2014), Boediono berpendapat bahwa ada dua hal yang mengharuskan Indonesia bersiap menghadapi kemungkinan krisis keuangan. Pertama, siklus krisis yang kian rapat; Kedua, potensi gejolak pasar keuangan akibat rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Namun demikian, berbagai pihak justru berpendapat sebaliknya. Misalnya pimpinan BPK dan mantan anggota DPR Harry Azhar Azis yang menyatakan bahwa UU JPSK tidak mutlak, bahkan tidak perlu. Undang-undang yang ada saat ini dinilai sudah cukup. Untuk menjawab pro-kontra tersebut, perlu kita cermati apa kekurangan undang-undang yang ada serta bagaimana RUU JPSK difungsikan untuk menutup celah tersebut.

Penetapan “berdampak sistemik”

Salah satu pokok permasalahan dalam kisruh kasus Bank Century adalah mengenai siapa yang berwenang menyatakan suatu bank gagal “berdampak sistemik”. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengamanatkan pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).  Forum ini beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam UU OJK tersebut, FKSSK dinyatakan dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sayangnya, dalam UU tersebut tidak dijelaskan apa saja kewenangan forum tersebut. Berkaca dari kasus penanganan Bank Century melalui Perppu JPSK, kewenangan forum tersebut harus dibuat secara jelas untuk menghindari permasalahan hukum bagi para pengambilan keputusan. Sebagai contoh, siapa yang berwenang untuk menetapkan “berdampak sistemik”? apa definisi “berdampak sistemik”?  Tanpa ada persamaan persepsi antara pengambil kebijakan dengan aparat penegak hukum, dapat dipastikan kriminalisasi kasus Century dapat terjadi lagi. Akibatnya, Jika ketidakjelasan ini dibiarkan, maka ketika ada bank yang kolaps tidak ada yang berani membuat keputusan untuk mencegah meluasnya dampak dari kolapsnya bank tersebut.

Sumber pembiayaan penanganan krisis

Penanganan lembaga keuangan yang bermasalah tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, dana tersebut dipakai untuk dua hal; (1) Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) dari BI untuk bank mengalami kesulitan likuiditas, serta (2) Penyetoran Modal Sementara (LPS) oleh LPS untuk bank mengalami kekurangan solvabilitas.

Pasal 11 UU Nomor 3 Tahun  2004 tentang Bank Indonesia diatur bahwa BI dapat memberikan FPD yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.  Demikian pula dalam Pasal 85 UU LPS diatur bahwa apabila mengalami kesulitan dana, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana Pemerintah memenuhi kewajiban tersebut? Jika didanai melalui obligasi, harus diperhatikan ketentuan dalam UU Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN). Dalam Pasal 4 UU tersebut dengan tegas mengatur untuk tujuan apa saja SUN dapat diterbitkan. Penerbitan SUN dengan tujuan untuk FPD atau pinjaman kepada LPS tidak termasuk dalam pasal dimaksud. Alternatifnya adalah didanai secara tunai. Masalahnya adalah jumlah dana tunai di kas negara sangat terbatas. RUU JPSK akan mengatur dimungkinkannya penerbitan SUN untuk penanganan krisis serta dibolehkannya BI untuk membeli SUN di pasar perdana.

Selain itu, sesuai dengan UU Keuangan Negara, pengeluaran dana diluar yang sudah dialokasikan dalam APBN membutuhkan persetujuan DPR. Demikian pula halnya UU OJK. Pasal 46 menegaskan bahwa kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib  diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.  Ini bisa menjadi dilema tersendiri karena penanganan krisis butuh kecepatan, sedangkan pengambilan keputusan dengan melibatkan DPR butuh waktu lama. Lebih sulit lagi manakala koalisi pendukung pemerintahan baru era Jokowi-JK memiliki suara minoritas di parlemen.

Belajar dari pengalaman tahun 2008, Perpu JPSK “terpaksa” diterbitkan mengingat kondisi saat itu yang sangat genting. Dibalik berbagai kekurangannya, Perpu tersebut justru jadi bahan rujukan oleh negara lain untuk menyusun protokol penanganan krisis. Lantas mengapa justru kita yang tidak belajar dari pengalaman sendiri? Semoga Pemerintah dan DPR yang baru dapat bersikap lebih arif, mengeyampingkan urusan ego politik demi kemaslahatan yang lebih besar.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun