Mohon tunggu...
Deha
Deha Mohon Tunggu... profesional -

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menggali Recehan, Terhanyut Trilyunan Rupiah

22 Agustus 2014   14:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:52 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Membaca berita online harian Kompas bertajuk:”Pemerintah Ikhlaskan Freeport Tak Bayar Dividen Tahun Lalu”, sesak rasanya. Kalau anak muda sekarang membaca serius kasus ini dan mengerti masalahnya pasti sudah bilang, sakitnya tuh disini ! (sambil nunjuk dada). Betapa amburadulnya kebijakan dan birokrasi pemerintahan.

Perlu diingat bahwa masih banyak perusahaan yang tertib administrasi dimana setiap bulan harus setia membayar dan melaporkan pajak dari usaha. Sekali telat melapor setiap bulan, maka dikenakan denda administrasi 1 juta Rupiah untuk pelaporan PPN dan 500 ribu Rupiah setiap jenis pajak penghasilan plus bunga keterlambatan pembayaran 2% setiap bulan. Dan rasanya bagi kami perusahaan kecil, aturan tersebut tidak ada ampunnya. Dalam hal ini sebenarnya pemerintah tidak pernah mau tahu bagaimana kami sulitnya berusaha, sekalipun hanya sekedar untuk menjaga going concern usaha. Berbagai peraturan yang sering berubah dan birokrasi yang berbelit menjadikan waktu kami habis untuk mengurusi masalah administrasi dibandingkan menjalankan core buisness sesungguhnya.

Sementara di sisi lain potensi pendapatan yang sekali jebret milyaran bahkan trilyunan seperti kasus Freeport di atas hilang begitu saja, terutama dari penerimaan pajak, royalti dan dividen sektor pertambangan termasuk migas. Kasus ini bukanlah kasus baru, tetapi cara penagangan pemerintah selalu sama dan entah mengapa ujung-ujungnya selalu tersandera politisasi entah itu kepentingan politik luar dalam negeri maupun luar negeri. Apalagi jika harus berhadapan dengan kepentingan AS, Aus, Aseng dan Asing lainnya seolah-olah pemerintah dan pejabat mendadak demam tinggi dan linglung berat. Jiwa mereka seolah kerdil dihadapan kekuatan asing. Kekerdilan dan ketidaktegasan ini berimbas kemana-mana sehingga pejabat-pejabat dibawahnya baik di pemerintahan maupun di perusahaan swasta milik asing pun tidak punya nyali untuk sekedar menunjukkan bahwa di dada mereka masih ada kebanggaan merah putih. Inilah penyakit lama banga ini yang hingga berumur 69 tahun masih belum bisa diobati.

Saat ini pemerintahan lama dengan anggaran yang sudah disahkan diprediksi akan mewariskan potensi terjadinya defisit anggaran sekitar 200 trilyunan. Namun pemerintah baru dengan statement yang dilontarkan menyiratkan bahwa untuk menutupi defisit tersebut adalah dengan menggenjot sektor perpajakan dan menurunkan subsidi energi yang artinya harga bbm dan listrik pasti naik. Inilah kebijakan yang walauun tidak polpular namun merupakan cara paling cepat dan instant yang biasa dilakukan pemerintah untuk tidak mengutang lebih banyak. Dengan kebijakan seperti ini maka rakyat lagi-lagi harus menanggung beban berat sementara potensi pendapatan yang seharusnya diterima negara dan dinikmati rakyat menguap begitu saja.

Berkaca dari kasus Freeport ini seharusnya pemerintah baru lebih fokus dan tegas terhadap kewajiban pajak, royalti dan dividen perusahaan- perusahaan besar dan memberikan kemudahan bagi perusahan-perusahaan kecil untuk maju menjadi besar agar nantinya juga besar dan jangan dibiarkan mati berdiri. Jangan sampau pemerintah terlalu memburu recehan dan asyik dengan hal-hal yang kecil tetapi membiarkan hal dan potensi pendapatan yang tinggi. Dan lagi-lagi mata dan kuping pegawai KPK harus selalu dipasang untuk memantau ada tidaknya indikasi pejabat pemerintah bermain dalam kasus-kasus hilangnya potensi pendapatan negara seperti kasus Freeport ini.

SMI,220814

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun