Mohon tunggu...
Deha
Deha Mohon Tunggu... profesional -

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi di Gerbang AFTA: Mendobrak Kultur Pesimisme

28 Agustus 2014   22:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:15 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya kemarin saya punya kapasitas sebagai seorang capres, mungkin saya akan berpikir panjang untuk mencalonkan diri. Masa bodoh jika dikatakan pengecut. Mengapa?  Tantangan sangat berat menanti pemimpin bangsa ini mulai 2015. Ketika negara-negara lain mungkin sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menghadapi era kawasan perdagangann bebas ASEAN (AFTA) 2015, sementara negeri ini masih sibuk berpolemik dan saling hantam dengan bangsanya sendiri.

AFTA tidak boleh dianggap main-main karena jika bangsa ini tidak mampu bersaing di dalamnya maka bisa dipastikan bangsa yang besar ini hanyalah seperti tempat “ladang market” yangmenggiurkan bagi produk/jasa negara-negara lain. Sebagai contoh kecil saya ingat beberapa waktu lalu dimana klien saya, perusahaan jasa global di Jakarta, beberapa bulan lalu posisi direkturnya masih diisi oleh orang India. Tapi kemudian dirotasi dan diganti dengan orang Filipina. Lalu pertanyaan saya mengapa Filipinos? Apakah orang Filipina itu lebih pintar dari orang Indonesia? Saya pikir tidak, lalu mengapa?

Entahlah, yang jelas dari sisi personality dan kemampuan verbalnya jauh dibandingkan orang Indonesia. Penampilan menarik, masih sangat muda dan enerjik. Mungkin itu alasannya. Mereka berani memainkan posisi walaupun tidak mengerti regulasi keuangan, SDM, hukum dan perpajakan di negara orang lain. Itu mungkin salah satu contoh bagaimana nanti ketika AFTA ini mulai efektif, akan semakin membanjir level top manajemen diisi expat dari negara-negara tetangga. Sementara tenaga kerja kita kembali akan menjadi buruh di negerinya sendiri, tidak beda jauh dari petani penggarap sawah.

Pun di dalam hal produk barang, kelihatannya dengan kondisi saat ini dimana dengan tingkat pendaptaan dan pendidikan yang masih relatif rendah, produk dengan harga murah pastilah menjadi pilihan utama yang dipilih rakyat kita tanpa harus berpikir panjang mengenai dampak yang ditimbulkan. Disisi lain produk-produk kita yang dibuat secara manual tentu tidak akan mampu bersaing karena biaya produksiya yang tinggi. Apalagi subsidi dicabut sementara sektor perbankan tidak sepenuh hati memberikan permodalan kecuali pengusaha - pengusaha kecil kecuali yang diwajibkan oleh Pemerintah melalui KUR/KUK. Tanpa modal, teknologi dan inovasi menyulitkan pengusaha kecil untuk bersaing dengan produk luar.

Inilah yang seharusnya dipikirkan Jokowi-JK saat ini. Waktu 3-4 bulan bukanlah waktu yang singkat dan jangan sekali-kali dipakai untuk trial & error, karena salah dalam mengambil kebijakan maka bayang-bayang kegagalan negara tinggal menghitung tahun. Sementara menteri yang dipilih pun haruslah sekelas CEO korporasi papan atas yang memiliki mental kuat, visi yang luas, brilliant (not only smart/clever), fokus mau bekerja keras dan memiliki terobosan inovasi untuk memajukan Indonesia bukan mentri text book apalagi politikus.

Ini sangat penting mengingat dengan inovasi dari presiden dan menteri-mentri inilah diharapkan dapat meningkatkan daya saing minimal menahan gempuran negara-negara lain. Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, ketenagakerjaan, perdagangan, perindustrian adalah core bussiness bangsa ini yang harus dikelola dengan management strategic yang brillian oleh pemerintah. Sementara sektor-sektor pendukung juga harus diisi oleh orang yang piawai dan out of box seperti riset teknologi, teknologi informasi, pertahanan keamanan, hukum, kewirausahaan dan sudah barang tentu pendidikan. Karena ini mempercepat proses peningkatan daya saing kita dengan negara lain.

Sudah barang tentu Jokowi-JK pusing tujuh keliling untuk mencari dan menempatkan orang-orang yang mampu merealisasikan janji-janji kampanyenya, apalagi konsep politik transaksional yang menjadi ciri khas Indonesia. Tapi Jokowi bukanlah tipe lelaki sepengecut saya, yang berani mengambil resiko tugas dari partai dan rakyatnya. Setidaknya dia sudah paham tantangan dan resiko yang harus dia hadapi dan dipertanggungjawabkan kelak. Saat ini kita memang perlu generasi pemerintahan yang mampu mendobrak kultur pesimisme dan itu harus ditunjukkan oleh Jokowi sebagai awal simbol perubahan negeri ini.

Lalu apa sumbangsih kita agar negara ini tidak menjadi tempat sampah bagi negara-negara lain? Pendidikan adalah kuncinya. Paling tidak usaha itu dimulai dari keluarga dengan memberikan pendidikan tinggi bagi keluarga kita memiliki agar berwawasan luas, berinovasi dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Selain itu menanamkan sifat cinta produk asli Indonesia, baik produk barang, jasa dan hiburan.

Untuk menanamkan kesadaran ini diperlukan patern dari seorang presiden dan bawahannya agar mencintai produk lokal dan menghindari produk luar. Bahkan jika perlu, negatif campaign (seperti yang dilakukan orang-orang dalam pilpres kemarin) sedikitnya bisa diterapkan untuk membendung pola konsumsi produk luar di masyarakat. Dalam hal ini tidak ada salahnya Jokowi memberdayakan orang-orang yang dulu lihai dalam mengkreasi negatif campaign sehingga tidak ada lagi pihak–pihak yang merasa terpinggirkan dalam menyongsong era AFTA ini. Selamat menyongsong AFTA tuan Presiden...

Mampang 28082014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun