[caption caption=" "][/caption]
“JAS MERAH… Jangan Sekali2 Melupakan Sejarah,” demikian ungkapan yang dikatakan oleh Presiden RI pertama, Soekarno. Ungkapan ini perlu diingat ketika mendengar kasus2 seperti “Papa Minta Saham” di Freeport.
Logika berpikir pimpinan wakil rakyat dalam dugaan kasus Papa Minta Saham itu adalah: tanah air kita kaya, maka kita serahkan saja pada perusahaan asing, yang penting kita pribadi kecipratan bagian untuk memperkaya diri.
[caption caption="Tambang emas Freeport di Papua"]
Kita tentu ingat bahwa Papua bergabung ke pangkuan Ibu Pertiwi -- sesuai semboyan “Dari Sabang Sampai Merauke” -- melalui pertumpahan darah para patriot bangsa yang tergabung dalam Operasi Trikora.
[caption caption=" "]
1. Perjuangan dengan Darah
Seperti diketahui, seusai perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) di den Haag 1949, Indonesia berupaya menempuh berbagai jalur diplomatik agar Belanda menyerahkan wilayah Irian Barat sesuai perjanjian. Mulai dari perundingan bilateral dengan Belanda, tekanan melalui Konperensi Asia Afrika yang mengutuk “penjajahan adalah kejahatan”, hingga dimasukkannya sengketa Irian Barat pada Sidang Umum PBB 1961.
[caption caption=" "]
Dalam situasi Perang Dingin, berbeda dengan para presiden AS sebelumnya, Presiden John F. Kennedy mendukung penyerahan Irian Barat pada Indonesia. Kedekatan JFK dengan Soekarno adalah berkat Dubes AS saat itu, Howard Jones, yang juga sangat dekat dengan Soekarno. Jones meminta JFK agar membuka hubungan yang lebih positif dengan Indonesia. Ia berpikir Soekarno dan JFK memiliki pemikiran2 besar dan karakter yang mirip sehingga keduanya bisa bekerjasama dengan baik.
[caption caption="JFK dan Bung Karno"]
Namun Belanda tetap tak mau menyerahkan Irian Barat. Bahkan, tanpa sepengetahuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaannya. Selain itu, Belanda juga menambah kekuatan militernya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Doorman.