Mohon tunggu...
Kang Hens
Kang Hens Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pekerja media

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

BPJS, Kenapa Kau Terlambat Hadir?

19 Juni 2016   14:50 Diperbarui: 20 Juni 2016   10:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ilustrasi/istimewa

25 April 2013 menjadi tanggal menyejarah dalam hidupku. Di tanggal inilah beban berat, kenestapaan, dan seabrek rasa lain bercampur aduk dan menggelayut di pundakku. Sekitar pukul 11.00 WIB di hari itu, aku masih duduk di kursi kantor di Jakarta. Pikiranku ngelantur dan singgah di kampung halaman, dimana orang tuaku dikabarkan sakit keras. Tak konsentrasi, itu pasti. Tak semangat, itulah yang ada. Bertahun-tahun dia sakit, tapi tak kunjung juga sembuh. Di tengah serba keterbatasan, itulah alasannya!  

Dan, sesaat setelah otakku berpikir keras, teleponku kemudian menjerit. Suara di ujung telepon gemetar, sesekali terdengar back sound dengan jelas suara tangisan, lalu kabar itu pun kudengar, “Ayahmu sudah pergi ke pangkuan-Nya. Kembali ke asalnya, dia telah dipanggil Tuhan!” Seolah tak percaya, aku membengong. Namun sejurus kemudian air mataku lalu mengalir. Pikiran masa kecil bersamanya kembali menembus ujung benakku. Canda dan tawa, suka dan duka, dan semua yang kualami bersama ayah, seketika hadir.  Tapi dia, ayahku, kini benar-benar telah tiada. Dia sudah wafat karena sakit yang dideritanya!

Ini bukanlah cerita fiksi, ini adalah sebongkah kenyataan yang aku alami beberapa tahun silam. Saat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bernama BPJS Kesehatan di tahun itu belum terlahir, betapa susahnya mengurus orang sakit, di tengah kondisi ekonomi keluarga yang serba susah. Dengan sakit yang dideritanya itu, kami hanya bisa membawanya ke beberapa klinik dan pengobatan alternatif. Sesekali pernah dibawa ke rumah sakit, tapi itu tak intensif. Hanya rawat jalan, mengingat biaya ini dan itu yang pasti mahal.  Tak ada Askes (yang pada 1 Januari 2014 resmi digantikan oleh BPJS Kesehatan –red) yang kami miliki, karena kami tak mendapatkan itu sejak awal.

Jika ditarik ke masa itu, terkadang aku menyesal sekaligus kesal, kenapa BPJS Kesehatan tidak ada di tahun itu? Kenapa BPJS baru terlahir di awal tahun 2014? Andai saja BPJS itu ada sebelum 2013, mungkin saja masih ada keajaiban untuk ayahku. Di saat keluargaku begitu terdesak, bertahun-tahun dan tak ada bantuan dari siapapun, termasuk aku juga pernah kirim surat elektronik ke berbagai instansi, tapi tak ada satu pun dari mereka yang merespon. Tak seorang pun yang menunjuki aku jalan, bagaimana harus bertindak di masa-masa genting seperti itu? Kami hanya seorang diri dan tertatih melawan bengisnya penderitaan ditengah raibnya rasa kegotongroyongan dan kepedulian sosial. 

‘Nyawa’ Baru dengan BPJS Kesehatan

Ingatlah saudara, sehat itu mahal! Hadirnya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 atas dasar UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS dan UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah oase di tengah dahaga masyarakat akan layanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat di Tanah Air. Kehadiran BPJS telah membantu 167 juta masyarakat yang telah terdaftar sebagai peserta untuk mendapatkan kesehatan dan menyelamatkannya  dalam kondisi darurat. 

Dengan terdaftar sebagai peserta BPJS, maka Anda yang sehat harus bersyukur karena dana Anda turut membantu peserta lain yang sedang terkena sakit. Bagi mereka yang sakit pun tetap harus bersyukur, karena Anda tidak lagi dibebani dengan melangitnya biaya pengobatan di rumah sakit. Karena semua biaya sudah ditanggung oleh pemerintah. Gotong royong yang dibangun melalui BPJS ini, sungguh memberikan manfaat, berasas kemanusiaan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama bagi mereka yang sedang ‘diuji’ kesehatannya. 

Foto: istimewa
Foto: istimewa
Anda jangan pernah lagi berpikir jika dana yang disetorkan setiap bulan itu sia-sia, karena Anda, misalkan, tidak pernah sakit dan menggunakan layanan BPJS. Dana tersebut tetap bermanfaat bagi yang lainnya dan itu adalah bentuk solidaritas Anda bagi mereka yang sedang menderita.  Percayalah, jika iuran Anda tetap memiliki nilai manfaat yang besar bagi yang lain, dan mungkin bagi Anda sendiri di masa depan.  Maka berbanggalah Anda jika telah terdaftar sebagai peserta BPJS!

Tengoklah sejenak ke beberapa rumah sakit rujukan di Jakarta, sebut saja seperti RS Cipto Mangunkusumo. Saya berkali-kali berkesempatan mewawancarai para pasien yang memiliki penyakit berat. Mereka datang dari berbagai pelosok daerah, dalam serba keterbatasan finansial, mereka pun berdatangan ke Jakarta, demi mendapatkan kesehatannya kembali.  Nurbaeti, misalnya, wanita berusia 31 tahun asal Kuningan, Jawa Barat, yang divonis menderita tumor teroid ganas. Atau Al Hafiz Rahman, bocah 11 bulan asal Aceh yang menderita jantung bocor dan kelainan pembuluh darah. Dan kasus seperti ini tak hanya dua atau tiga kasus, tapi sangat banyak dan ‘berkeliaran’ di setiap rumah sakit! Mereka datang bukan dari keluarga kaya raya, dan mereka membutuhkan uluran tangan kita semua. Bayangkan jika tak ada BPJS Kesehatan, siapa yang akan menyelamatkan mereka dari derita yang dialaminya?  

Antre demi dapatkan BPJS. Foto: Ist
Antre demi dapatkan BPJS. Foto: Ist
Lalu, dengan kenyataan yang ada tersebut, masihkah kita tidak mau untuk bergotong royong dalam rangka mewujudkan Indonesia yang lebih sehat melalui kepesertaan BPJS? Karena sesungguhnya kepesertaan kita adalah pertolongan bagi sebagian peserta lainnya.  Dan itu adalah manifestasi dari gotong royong sosial yang saat ini mulai luntur di tengah modernnya zaman. 

Hanya saja, terkait program BPJS Kesehatan yang sudah lebih baik dibanding sebelumnya ini, mungkin yang harus terus diperbaiki adalah soal pelayanan terhadap para pasien. Tak adanya perbedaan dalam pelayanan, baik pasien BPJS maupu pasien non BPJS, adalah standar yang harus diterapkan oleh setiap rumah sakit. Tidak ada lagi cerita soal penolakan pasien BPJS, dan lain-lain. Pihak rumah sakit, klinik, dan sejumlah tempat kesehatan lain harus tetap mengedepankan pelayanan terbaik demi terciptanya kesehatan masyarakat.      

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun