Mohon tunggu...
Budi Pras
Budi Pras Mohon Tunggu... karyawan swasta -

..tinggal di pinggir metropolis.. suka bersepeda,mancing dan motret..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada yang Baru dari Banjir Ibu Kota

10 Februari 2015   23:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14238187611520046155

Ibu Kota banjir? sudah biasa..

Sumber: Tempo.co

Ibu Kota kebanjiran lagi (sama seperti tahun-tahun sebelumnya), semua orang ramai lagi memperbincangkanya, tunjuk sana tunjuk sini salah siapa, pejabat dan pemangku kebijakan publik saling lempar tanggung jawab, dan para pakar saling berceloteh seolah paling tahu soal bagaimana mengatasi banjir di Ibu Kota dan sekitarnya.

Dan tidak ketinggalan, breaking news di TV isinya banjir semua. Tapi, tahun depan pas musim penghujan datang, saya berani bertaruh bahwa banjir masih akan melanda Ibu Kota, dan fenomena yang sama akan terulang. Ramai-ramai lagi, TV seharian diisi breaking news banjir lagi, para pakar tata kota berbusa-busa menjelaskan di sana dan di sini, selesai itu ketika musim banjir lewat,  ya sudah kembali sepi.

Banjir mirip dengan macetnya jalan-jalan Ibu Kota yang penuh dengan kendaraan beraneka rupa (mungkin mirip-mirip pula sama fenomena korupsi di negeri ini). Ramai diperbincangkan, tapi tanpa pernah ada solusi yang jitu dan mumpuni (terintegrasi, konsisten dan sungguh-sungguh). Jadi selalu berulang, dari tahun ke tahun, dari musim ke musim. Ibarat pepatah keledai tidak terjatuh dalam lubang yang sama dua kali, tapi soal banjir dan macet ini kita sudah terjatuh di lubang yang sama berkali-kali.

Kalau kita tarik jauh ke belakang, seratus tahun lebih silam. Bahkan Belanda yang bukan penduduk asli Ibu Kota Jakarta (Batavia saat itu) sudah tahu bahwa daerah Ibu Kota adalah daerah yang rawan banjir. Karena itulah mereka membuat berbagai kanal, pintu air dan juga Bendung Katulampa di Bogor untuk mengatur debet aliran air.

Pertanyaan yang sama kalau boleh kita ajukan, kenapa setiap kali banjir melanda Ibu Kota selalu diputar diulang di TV status Bendung Katulampa? Apakah 100 tahun kemudian pemerintah tidak membuat infrastruktur lain untuk pengendali banjir? (Di tengah-tengah perubahan alokasi tata ruang wilayah yang menjadi penuh dengan pembangunan fisik dan berkurangnya resapan, perubahan DAS dan banyak aspek perubahan kondisi lingkungan lainya?).

Terkadang mungkin kita harus mau malu untuk mengaku, bahwa setelah seratus tahun kemudian ternyata kita masih mengandalkan infrastruktur peninggalan Belanda untuk pengendalian laju aliran air sungai yang membelah Ibu Kota.

Kita tidak harus mengecilkan faktor bencana banjir ini dan kerugian yang bakalan ditimbulkanya. Tapi terlalu lebay juga setiap tahun ketika banjir datang banyak orang menggerutu, mengeluh, menuding mencari-cari siapa yang salah di balik banjir ini. Bahkan akhirnya banjir pun menjadi komoditas politik karena ditarik-tarik ke sana, tanpa pernah ada sebuah solusi yang benar-benar jitu.

Saya kira sudah saatnya semua hening, berpikir solusi yang maknyoss soal banjir ini. Biar kita tidak terjerembab dalam lubang yang sama untuk kesekian kali (menghindarkan diri dari mirip-mirip keledai).

Lagi-lagi pilihan kembali kepada kita. Apakah akan tetap menggerutu saban tahun ketika air (yang adalah salah satu bentuk rejeki yang diturunkan Tuhan dari langit kepada umat manusia) turun dengan jumlah yang lebih banyak dan menggenangi sebagian wilayah kita tinggal atau bekerja? Atau kita ikut aktif berpikir dan bertindak mencari solusinya, dengan misalnya mengampanyekan gerakan sumur resapan, biopori dan gerakan menjaga kebersihan sungai dan lingkunganya?

Kalau sebagian besar memang hanya mau dan lebih suka berkomentar, para pakar lebih suka menjelenterehkan teorinya tentang pengendalian banjir dan tanpa aksi nyata di lapangan berwujud infrastruktur pengendali banjir sebagai buah pikiranya, para pemangku kebijakan lebih suka berteori ngalor-ngidul dan mengangkat banjir hanya sebagai komoditas politik -- jadi dagangan politik menjelang pilkada dan jadi amunisi politik untuk menjatuhkan nilai pejabat sekarang – selama itu pula situasi yang seperti ini akan terulang setiap tahun. Dan bisa jadi, Jakarta tanpa banjir akan jadi aneh rasanya untuk ukuran sebuah kota metropolis, sama anehnya ketika kemacetan hilang dari jalanan Ibu Kota.

Jadi, 2016 Ibukota masih banjir ? ah biasa itu.. mari kita sambut dengan hati riang gembira ( meniru apa yang dibilang mas GaSa). Ibukota Tidak banjir di 2016?…. Wow. Itu baru luar biasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun