Mohon tunggu...
Budi Pras
Budi Pras Mohon Tunggu... karyawan swasta -

..tinggal di pinggir metropolis.. suka bersepeda,mancing dan motret..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penawar Racun Kampanye Hitam

18 Juni 2014   15:04 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:16 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="sumber gambar : http://indonesia-memilih.com/wp-content/uploads/2014/05/stop-black-campaign.jpg"][/caption] Mengamati riuh rendahnya para pendukung kandidat capres dan cawapres dalam konstestasi pilpres kali ini, akhirnya tak sengaja membawa ke ingatan ini masa silam. Sekian puluh tahun yg lalu, ketika ibu tergopoh-gopoh dipenghujung hari menjelang malam, membawaku dan kakak ke balai desa ( kelurahan kalau orang kampungku dulu bilang ) dalam gendongan. Di kelurahan, kita disambut oleh pak lurah , beberapa rekan ayah dan keluarganya , juga beberapa tentara dan juga pak hansip berseragam hijau-hijau yang berjaga-jaga. Apa pasal? Ternyata belakangan baru tahu, kalau ayah yang seorang guru harus berseberangan pilihan politik dengan mayoritas warga kampong. Tapi kenapa harus sampai harus mengungsi? Ya karena sudah beberapa hari pintu depan rumah kami beberapa kali kena gedor, atau dilempar pecahan bata sama orang lain ( entah warga kampong tetangga kami atau bukan ). Yang teringat dari penggalan-penggalan memori masa lalu adalah obrolan-obrolan masa kecil, digardu ketika bermain, disurau setelah mengaji, atau di sungai setelah berenang. Seorang teman mengatakan kala itu, bahwa tidak mencoblos ka’bah itu berdosa dan masuk neraka. Demikian pulalah yang kami dengar dari guru mengaji tentang gambar kabah yang terpampang dimana-mana dikampung kami.

Kondisi sedikit berubah ketika kami menjadi pemilih pemula. Dari beberapa teman sebaya, ada yang masih teguh berpendirian dengan apa yang dikatakanya saat kecil dulu, ada yang lebih terbuka dengan berani menyeberang ke pilihan yang berbeda, dan aku sendiri dengan terpaksa harus mengikuti apa saran ayah ( karena keluarga pns ). Perolehan si beringin selalu tidak beranjak dari sepuluh besar ( artinya selalu dibawah angka sepuluh , sesuai jumlah keluarga pns di tps kampong kami ). Perubahan yang aku maksudkan adalah, berkurangnya level keharaman untuk soal milih memilih, tensi dari kontestasi pemilu sudah jauh menurun. Aku bahkan sempat memajang 3 gambar yang ada digardu ronda dan hanya ada satu orang dewasa yang mempermasalahkanya. Tetapi dengan argument khas pemilih pemula, sang bapak inipun akhirnya maklum dan mengalah.

Waktu berlalu dan beberapa event pemilu yang dilewati terasa biasa saja. Aku berpikir “ ah mungkin orang sekarang sudah mulai pintar. Ketika janji dan kata-kata manis selalu dilupakan, kenapa rakyat harus beradu otot dan otak dibawah? ” tapi mungkinkah benar seperti itu? Apakah ini bentuk apatisme gara-gara rakyat merasakan, siapapun pemimpinya ya mereka harus tetap jungkir balik sendiri selama 5 tahun hingga nanti event pemilihan ini dating lagi.. dan semua akan berulang seperti rutinitas belaka? Bisa jadi……

Tapi ..oh tunggu dulu. Ajang pemimpin tahun 2014 kali ini berbeda. Riuh rendahnya mirip-mirip dengan yang aku alami masa kecil silam. Sampai-sampai diberita ada tukang becak yang berduel gara-gara saling dukung jagoanya secara berlebihan. Bedanya sekarang riuh rendah dukungan, celaan , hujatan dan fitnah bersatu padu bukan hanya didunia nyata, tapi tambah satu dunia lagi…dunia maya. Kesantunan mendadak hilang, kepatutan dalam mengeluarkan kata-kata dan komentar didunia satu ini sepertinya kehilangan batas, semangat untuk memilih pemimpin idaman rakyat yang ideal mengalahkan semua ukuran-ukuran dan norma yang ada. Hujat sana hujat sini, fitnah sana fitnah sini menjadi hal yang biasa. Salah sedikit dari kandidat yang juga hanya manusia, akan jadi santapan dan dibully berhari-hari. Tayangan-tayangan tivi pun tak masuk diakal lagi. Satu condong sana, satu condong sini…lama-lama bisa roboh pula ini…

Siang ini aku terhenyak kembali… Seorang teman kerja dikantor mengirim video dan sebaris kalimat muncul mengikutinya di email …” Sudah lihat videonya belum? Sudah tahu kan ciri-ciri orang munafiq ?Kalau berkata bohong, kalo berjanji mengingkari, kalo diberi amanah berkhianat …masak masih mau memilih pemimpin orang munafiq? Mari kita bantu pak xxxx agar tidak terjerumus dalam kemunafiqan, dan memudahkan beliau nanti diakhirat…”

Baca email lainya yang menanggapi “ Masak akidah kita dipertaruhkan bro. Pelanggaran HAM kan hanya dosa buat dia seorang, kalau yang ini bisa bahaya bro. bisa membawa mudharat yang sangat besar buat ummat

Damn….. sejak kapan pemilu bisa membuat orang sedemikian care nya dengan calon pemimpin. Bahkan bukan hanya care dalam urusan dunia… akhirat pun dibawa. Bahkan pemilu ini membuat mereka seolah-olah lupa sesaat dinegara mana mereka berada dan bagaimana upaya jerih payah kakek moyang mereka dulu mendirikan Negara dan bangsa ini yang memang sudah beragam dari sejak dilahirkan?

Aku tercenung…. Fenomena ini sebenarnya apakah kemajuan atau kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi kita? Teman-teman kerja yang notabene berpendidikan , punya akses internet, punya waktu dan kemampuan untuk mencari informasi seputar kelebihan dan kekurangan masing-masing figure kandidat, ternyata banyak juga yang menelan informasi apa adanya. Lalu bagaimana dengan mereka yang diluar sana. Para tukang becak, kuli pasar, kuli panggul, buruh bangunan, petani dan lain lainya? Yang mungkin tivi adalah sumber informasi satu-satunya, atau media social dan sedikit internet untuk mereka yang mempunyai akses ke situ.

Aku tidak berharap ini sebuah kemunduran, karena kalau ini kemunduran, maka kita sebagai bangsa berarti mundur balik sekian puluh tahun dalam berdemokrasi. Ahhh ,akan tetapi… bagaimana dengan orang-orang terpelajar yang seharusnya bisa mengedukasi semua orang dengan meluruskan kampanye-kampanye kotor ini dan mereduksinya kelevel terendah, tapi pada akhirnya malah ikut larut menjadi katalis didalamnya?

Mungkin bangsa ini butuh penawar racun kampanye kotor lebih banyak lagi, butuh bukan sekedar smart voters, tapi juga butuh smart supporters….Agar pemimpin terpilih adalah orang-orang yang memang amanah dan bisa membawa gerbong Indonesia melaju lebih baik kea rah tujuan

Maukah kita?

Bekasi, 18 Juni ’14..sambil ngopi disudut ruang kerja

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun