Mohon tunggu...
Kang Becak
Kang Becak Mohon Tunggu... -

Bila Tuhan menghapus semua kata. Ku mohon, jangan hapus kata "cinta".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Itu

8 Januari 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12944926271348188483

Cinta Lelaki itu pada  Ponirah, sesuci cinta Bethara Kamajaya pada Dewi Ratih. Lelaki itu dan Ponirah bagai tumbu ketemu tutup. Ponirah jelek toh lelaki itu juga tidak tampan. Ponirah bukan keturunan bangsawan, sama seperti dirinya yang hanya anak penjaga gunung. Filsafati jawa, mengenal keharmonisan. Semuanya harus meng hitung bibit (keturunan), bebet (kolega), dan bobot (kapabilitas pribadi). Sopo siro, sopo ingsun (siapa anda, siapa saya). Dewa itu jodohnya dewi. Raja itu lebih baik nikah dengan ratu. Hingga lelaki itu jadikan Ponirah sebagai pendampingnya.  Tinggal di desa dengannya, membuatnya enggan berpindah ke kota. Di desa lelaki itu sangat bahagia. Melihat Ponirah dengan keranjangnya, memanen hasil bumi hasil kerja keras mereka. Dan dari rahim Ponirah lah terlahir sepuluh buah hatinya. *******   Setelah ayahnya wafat, Sang Raja Agung  mengangkat lelaki itu menjadi juru kunci merapi. Menjaga merapi, sama seperti menjaga keseimbangan dunia dengan keraton Jogja sebagai pusatnya. Papat kiblat lima pancer. Merapi sang adhi ari-ari di poros utara, berlawanan dengan parang kusumo, sang darah di poros selatan. Poros timur sang asal di Gunung Semeru dan poros barat sang plasenta di Gunung Menoreh.  Apalagi Keraton juga memberinya imbalan Rp. 81.000,- tiap bulan. Wujud bahwa keraton menganggap lelaki itu sebagai abdi. Jangan kau samakan dengan gaji anggota DPR. "Kami sekeluarga, saya dan anak-anak saya tidak merasa kekurangan. Masyarakat dan Mesjid lebih membutuhkannya," katanya suatu ketika (Detik.com 2007/04/15). Dalam diri lelaki itu, ada sinergi polytheisme Jawa dan Monotheisme Islam. Jagad gedhe (manusia) dan jagad cilik (mahluk halus) diciptakan oleh Gusti Allah ingkang Murbeng dumadi. Kita harus menghormati jagad cilik seperti kita menghormati jagad gedhe. Sebuah filsafat yang mungkin terasa asing bagi bangsa Arab. Merapi dianggapnya sebagai saudara, ciptaan Gusti Allah dan beragama Islam. "Cukup dengan saya mengucapkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ke arah Gunung Merapi. Alhamdulillah Dusun Cangkringan aman," katanya suatu waktu(Detik.com 2007/04/15). Amannya dusun  Cangkringan juga berarti keamanan dusun Turi, Pakem, Kemalang, Dukun, Srumbung. Selo, Musuk, dan Cepogo . Petani bisa menanam tembakau. Hewan ternak bebas menikmati rerumputan. Para mahasiswa bisa mendaki, menikmati keindahan puncaknya.  Orang pasti menertawakan kesederhanaannya, padahal sederhana dan glamour, hanyalah masalah rasa. Pergi keluar negeri, menonton piala dunia, tidak lebih indah dari kegiatan memelihara sapi. "Kalau saya ke Jerman, siapa yang mencari rumput sapi saya,"tuturnya. (detik.com 2007/12/26) Hidup, perjuangan menjalankan kesetiaan. Kesetiaan pada tugas, maupun kesetiaan pada perkawinan. Baginya tidak ada Sultan Jogya selain sang Hamengkubuwono IX, dan tiada perempuan yang menarik hatinya selain sang Ponirah. Kenapa saya tidak mau ikut mengungsi karena saya di berikan tugas untuk menjaga Gunung Merapi dan memperhatikan warga supaya dapat menyelamatkan diri. Kalau saya ikut mengungsi berarti saya tidak prihatin terhadap warga. Saat Merapi meletus warga janganlah marah, karena Merapi bukan meletus tapi sedang bangun. Jangan pula pernah merendahkan Merapi dengan menyebut abu vulkanik sebagai wedus gembel, saat Merapi mengeluarkan isinya kita sebaiknya berucap Assalamualaikum” (kompasiana.com 2010/10/29). *********   Kini laki-laki itu telah tiada, diterjang abu sang merapi saudaranya. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Bisa jadi Gusti Allah mengutus abu merapi agar menjelma menjadi sang Hamengkubuwono IX itu sendiri. Hingga laki-laki itu butuh bersujud sebelum ajalnya benar-benar terenggut. Dan, Ponirah, melepasnya dengan sederhana. “Kalau saya tidak iklas, kasihan nanti jalannya berliku-liku,” ucapnya sambil berderai air mata. (suara pembaharuan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun