Akhir-akhir ini salah satu kata yang sering dijadikan hot issue adalah THR. Anda pasti tahu kepanjangannya ya? Betul sekali, Tunjangan Hari Raya. Ini adalah proses transfer rezeki yang mengiringi waktu menjelang hari raya idul fitri.
Lagi-lagi ditemukan hikmah keberkahan bulan ramadhan, yaitu suka ada THR. Dana santunan Cuma-Cuma ini biasanya diberikan oleh seorang atasan kepada bawahannya, boss kepada karyawannya, termasuk dari pemerintah kepada para pegawainya [baca: PNS, TNI, POLRI]. Sudahkah Anda mendapatkan THR hari ini?
Jika Anda saat ini sudah mendapatkan THR, maka izinkan saya ikut berbahagia. Tetapi kalau ternyata belum menerimanya, saya harap tetap sabar dan bahagia. Karena rezeki itu tidak hanya terletak pada selembar amplop THR. Jangan kerdilkan diri Anda, karena masih banyak sisi kenikmatan yang Allah berikan kepada kita mulai dari tidur sampai tidur lagi.
Oh iya, saya hampir lupa sebenarnya sejak kapan sih ada istilah THR ini? Setelah ditelusuri ternyata cukup lama juga istilah ini beredar. Walaupun sebenarnya tidak ada ketentuan yang pasti. Namun momentum tahun 1951 saat Presiden Soekarno melantik kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Salah satu program kabinet ini adalah menyejahterakan pamong atau PNS. Menurut peneliti LIPI Soekiman membagi-bagikan tunjangan rutin pada menjelang akhir bulan Ramadhan. Dari sinilah istilah THR itu dimulai dan menjadi fenomenal hingga sekarang.
Sejarah ini mengingatkan saya bahwa ada perbedaan mencolok antara orang biasa dengan orang besar. Bukan merupakan kebetulan nama menteri penggagas THR itu sama persis dengan nama ayah saya. Bedanya, beliau seorang menteri sedangkan ayah saya seorang petani kampung. Maksudnya gimana? Andai saja yang menggagas THR ini seorang petani kampung biasa, maka tunjangan di akhir ramadhan ini mungkin hanya terjadi pada jaman dulu saja dan tak akan sephenomenal sekarang.
Seorang tokoh, penguasa, pengusaha besar dan lainnya biasanya menjadi magnet yang menarik bagi masyarakat. Walaupun mereka berbicara dengan kata-kata sederhana, tapi sering kali quotenya menjadi kata mutiara yang dikutip oleh banyak orang. Dan akhirnya viral.
Berbeda dengan orang biasa seperti saya, meskipun saya jungkir balik mengukir kata agar dilike, share, komen, oleh banyak orang, tetap saja hasilnya nihil. Jadi kalau mau jadi panutan kita mesti menjadi orang besar. Tapi janganlah berpikir serendah itu. Sebaiknya berpikir dan berjiwa besar saja. Pikirkan bagaimana Anda bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya. Bukan berpikir meminta-minta, mengaharap pemberian orang lain terus menerus.
Dalam konteks THR ini, lebih baik jika sejak sekarang kita mulai berpikir untuk memberi THR bukan sebaliknya mengemis-ngemis, apalagi harus menjual harga diri atau bersikap anarki. Bukankah Rasulullah mengajarkan, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain".
Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Kata-kata ini sangat saya kagumi. Mengapa tidak? Dalam enam buah kata tersebut terdapat pelajaran berharga bagi kita. Apakah itu? Bahwa sesungguhnya kita dinilai dari proses, usaha, dan kesabaran, bukan berdasarkan hasilnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah (9):105,
"Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Mantap sekali ayat ini. Jadi kita dihargai karena segala jerih payah kita untuk berusaha, belajar dan bekerja sungguh-sungguh. Masalah hasil, kita serahkan saja kepada Allah. Begitupun dengan boss, atasan, pemerintah, atau siapapun orang yang memimpin kita bekerja.