[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Bangunan sekolah SD Al-Istiqomah berdiri di tengah pembongkaran yang dilakukan di Ria Rio, Pedeongkelan, Pulogadung, Jaktim. Sabtu (26/10/2013). (Kompas.com/Robertus Belarminus)"][/caption]
Semakin ke sini persaingan antarsekolah sangat ketat. Bahkan semakin tahun, jumlah sekolah kian bertambah banyak di semua tingkatan. Bertambahnya jumlah sekolah relatif menyebar dari sisi letak geografis dan tingkatan (SMP/MTS, SMK, SMA dan MA). Kebumen, sebagai salah satu Kabupaten Vokasiuntuk SMK, jumlah SMK terus bertambah. Di sisi lain, jumlah sekolah agama (MA) Madrasah Aliyah, juga terus bertambah. Jumlah persisnya saya tidak begitu paham. Yang jelas, terlihat ada saja sekolah baru setiap tahunnya. Betulkah, ini merupakan tuntutan zaman dan logika ledakan jumlah penduduk? Dan semakin banyaknya sarjana pendidikan? Saya sih kurang yakin akan itu. Pasalnya, puluhan sekolah mempunyai siswa di bawah seratus (hanya 3 rombel/kelas), tapi di sisi lain bermunculan sekolah yang serupa, apa tidak lebih baik, melanjutkan di sekolah yang sudah ada saja?
Saya akan menyoroti masalah akses siswa ke sekolah favorit dan nasib siswa kurang mampu, serta kualitas pendidikannya dilihat dari sisi persaingan ketat antarsekolah.
1.Sekolah favorit, ternama di daerah khususnya SMK/SMA negeri, mungkin relatif aman perolehan jumlah siswanya. Hal ini karena sekolah sudah lama, mapan seluruh sarana dan prasarananya. Jadi, wajar sekolah ini akan tetap digemari. Sekolah ini juga telah mapan bekerja sama dengan bursa kerja atau lembaga pendidikan/pelatihan kerja.
2.Sekolah negeri, tapi tidak begitu difavoritkan. Relatif naik-turun perolehan siswa setiap tahunnya. Bisa dilihat dari naik-turunnya jumlah kelas yang terisi. Ini juga masih relatif aman dalam penyelenggaraan pendidikan, karena soal sarana dan prasarananya sudah lengkap seperti sekolah favorit. Begitu pula dengan swasta yang setaraf atau sejajar karena sudah punya nama, dan lulusannya terbukti diterima kerja, relatif tidak ada masalah. Sekolah tipe ini adalah alternatif kedua, jika tidak diterima/tidak masuk kualifikasi di sekolah favorit.
3.Sekolah swasta SMK, SMA, maupun MA untuk kalangan kelas menengah ke bawah, dalam arti mayoritas siswanya adalah keluarga kelas menengah ke bawah. Ini terjadi persaingan sangat ketat antarsekolah dalam memperoleh siswa. Ini bisa dilihat dari sekolah yang belum lama berdiri, di bawah 20 tahun. Terjadi persaingan ketat bahkan rebutan siswa. Berlomba bagaimana caranya agar siswa bisa masuk di sekolahnya. Mulai dari kerja sama dengan pihak SMP/MTS agar diarahkan ke sana dengan iming-iming tertentu, sampai pada promosi habis-habisan, mulai dari bayar 1 tahun yang 2 tahun gratis bahkan gratis sama sekali alias tidak bayar, dibelikan sepeda, tas, buku, sepatu, baju seragam dan sebagainya. Hal ini dikarenakan, dalam rangka tidak sebatas sekolah itu bertahan hidup, namun juga menyangkut guru-guru yang ada di dalamnya, utamanya yang sudah sertifikasi. Agar mereka tetap mendapat tunjangan sertifikasi, maka sekolah harus tetap beroperasi, sekolah harus tetap dapat murid. Bahkan, jam mengajar guru yang kurang memenuhi 24 jam tatap muka sebagai persyaratan mendapat tunjangan, dipenuhi dengan sistem mengajar tambahan di sekolah lain dengan pelajaran yang sama, sekolah kedua di mana dia mengajar, dia rela tidak digaji. Begitulah, saking banyaknya problem persoalan pendidikan di sekolah yang kecil, yang jumlah siswanya hanya puluhan atau di bawah seratus.
Beberapa hal, hemat saya pemerintah daerah harus mengambil peran dalam mengendalikan mutu pendidikan, masyarakat mendapat hak yang sama;
1.Pentingnya regulasi pemerintah daerah yang mengatur eksistensi sekolah. Jika siswanya hanya hitungan jari dalam setiap rombelnya, apakah sekolah seperti ini harus tetap dipertahankan? Bagaimana upaya solusi, jika akan mengambil peran serta mendorong agar sekolah yang sudah ada bisa tetap bertahan hidup?
2.Pentingnya regulasi yang mengatur perizinan sekolah baru di semua tingkatan, ini penting dikaitkan dengan rasio jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk, serta sebaran sekolah di penjuru arah daerah.
3.Pentingnya regulasi yang jelas, peran pemerintah daerah tentang aturan dalam peningkatan mutu oleh sekolah dan guru, di luar yang sudah diatur oleh pemerintah pusat dan dinas. Akses jalan, sarana prasarana daerah yang inklud menjadi sarana sekolah dan lain sebagainya. Seperti tempat olahraga, akses pemerataan perpus, pemerataan guru yang sesuai dengan bidangnya. Khusus untuk guru, misalnya, pemerintah bisa menfasilitasi atau mengatur lowongan kerja guru swasta apa saja yang dibutuhkan, termasuk sebaran guru profesional di sekolah swasta. Sehingga pihak sekolah tidak seenaknya saja memberikan beban tugas pelajaran kepada guru yang bukan fakultasnya.
4.Perhatian pemerintah daerah kepada sekolah kecil yang kembang-kempis seolah hidup segan mati tak mau, harus ditingkatkan. Selama ini hanya sekolah negeri yang mendapat jaminan anggaran daerah setiap tahunnya. Meskipun hal ini wajar, karena sekolah negeri adalah milik negara. Tapi di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, terdengar di masyarakat -- mereka juga menarik iuran siswa dengan berbagai alasan, walau sekarang slogan sekolah gratis 9 tahun sudah menjadi jargon pelayanan pendidikan.
5.Pemerintah harus tahu, sekolah kecil yang jumlah siswanya hanya puluhan, mereka bahkan rela tidak menarik iuran kepada siswa sebagaimana sekolah lainnya, khawatir siswanya pada lari keluar, pindah sekolah, bahkan memicu putus sekolah karena keterbatasan biaya. Gajinya guru sangatlah kecil. Sehingga sekolah kecil, setiap tahunnya bisa bergonta-ganti guru karena tidak betah dan sebagainya. Hal ini berdampak pada kemapanan sistem belajar-mengajar. Guru tidak sejahtera, bagaimana mau mengajar dengan tenang. Jika di sekolah swasta yang besar, walau mereka belum sertifikasi, mungkin saja sudah tercukupi lewat gajinya yang cukup besar karena jam/kelas yang banyak. soal tunjangan guru, hal ini jelas bermasalah. Untuk sekolah yang hanya 3 kelas, masing-masing rombel hanya 1 kelas, ini mustahil setiap gurunya mendapat tunjangansertifikasi. Karena minimal 24 jam tatap muka akan sulit terpenuhi. Paling-paling hanya 3 guru saja. 1 kepala sekolah, 1 kepala Perpus, 1 kepala laboratorium yang ketiga orang ini juga mengajar sebagai guru. Jika mengajarnya hanya 12 jam ditambah nilai jam jabatan mereka 12 jam, maka menjadi 24 jam, dan akan bisa mendapatkantunjangan sertifikasi. Jangan tanya nasib guru yang lain. Untuk rombel 3 kelas, untuk mendapatkan tunjangan fungsional saja minimal 18 jam tatap muka, sudah sulit diwujudkan.
6.Untuk sekolah yang kembang-kempis ini, bagaimana kualitas pendidikannya? Siapa yang salah?
7.Akses siswa miskin untuk sekolah di sekolah favorit nyata-nyata sulit. Karena dari tingkatan sekolah dasar, katakanlah-nilai mereka/kualitas mereka terlanjur diragukan, sekolah mereka bahkan tidak difavoritkan. Walaupun, ada peluang si miskin yang berprestasi untuk melanjutkandi sekolah favorit, tetap saja itu sangat terbatas. Seolah mereka tidak berhak sekolah di sana.
8.Sudah saatnya, pemerintah daerah, yang dianggap lebih tahu daripada pemerintah pusat akan warganya, mengambil peran penting dalam bentuk regulasi untuk kualitas pelayanan pendidikan, bisa diatur dalam bentuk Perda atau bentuk lainnya. Salah satu poin penting yang ada di dalamnya memuat, nasib warga miskin untuk akses di sekolah favorit, bagaimana mempertahankan sekolah kecil agar tetap beroperasi, dan bagaimana mengendalikan dan mengatur perijinan sekolah baru.
Mudah-mudahan, kualitas pendidikan kita semakin maju, masyarakat mendapat hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah hal vital. Banyak pakar mengatakan, untuk kemajuan negara, bangsa, kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dimulai dari pendidikan yang harus diperbaiki. Semoga.
Penulis; Badruzzaman, Mantan Guru sekolah swasta di Kebumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H