Oleh Nur Azis
Kecewa itu tiada guna. Tak mungkin, mengulang waktu ke belakang. Apa yang terjadi hari ini, adalah hasil keputusan kita dimasa yang lampau.
Aku akan bercerita kepadamu, tentang siapa aku, masa laluku, dan semua yang telah aku perbuat. Setelahnya, semua terserah kepadamu. Mau melanjutkan hubungan ini ke arah yang serius, atau cukup di sini saja. Terserah kamu.
Dulu sekali, aku beranggapan. Menikah itu sumber mala petaka. Bagiku, Laki-laki dimana saja sama kelakuannya. Mereka makhluk yang dipenuhi nafsu dan tak punya urat malu.
Sampai sekarang pun, aku tak pernah tahu. Siapa bapakku. Apakah dia seorang konglomerat, sopir truk, tukang kayu, penjual cilok atau seorang tukang parkir di kawasan lokalisasi ini.
Mungkin, saat itu, ibuku sedang mabuk. Tak sadarkan diri. Entah sudah berapa lelaki yang dia temani malam itu. Saking tidak kuatnya, barangkali dia terjatuh di samping si tukang parkir.
Tentu saja, nafsunya membuncah, melihat kemolekan tubuh ibuku. Ya, mungkin saja, dia melampiaskan hasratnya. Mana mungkin, tukang parkir itu paham yang namanya pengaman. Jelas tidak.
Atau bisa jadi, ibuku, menjadi istri simpanan pejabat korup di daerah. Hanya menjadi tempat pemuas nafsu. Setelahnya, dibuang, tak dikenal dah dijauhkan. Untuk saja tak di bunuh.
Bahkan bisa jadi, untuk mendapatkan tamu yang banyak. Ibuku, harus pergi ke dukun. Minta pelaris. Tapi syaratnya, harus bersetubuh dengan dukun terkutuk itu. Apa boleh daya, demi sebuah pelaris, bisa saja ibu melakukannya.
Tapi tidak. Ibuku tak pernah mengalami itu semua. Jika dia bekerja di kawasan hidung belang ini, barangkali jawabannya iya. Tapi ibuku bukan lah pelacur. Sekali lagi, bukan penjual birahi.
Ini adalah cerita kehidupanku yang teramat kelam, dahulu, aku pernah memotong kemaluan suamiku. Dengan tanganku sendiri. Dengan Parang panjang yang sudah berkarat, senjata itu menjadi saksi atas perbuatanku. Darah ... darah amis itu, tak hanya sekali itu saja kucium baunya. Ini sudah yang kelima. Ya, yang kelima.