Teori klasik tentang komunitas salah satunya dikembangkan oleh Emili Durkheim yang menjelaskan tentang kesadaran kolektif atau conscience collective yang didefenisikan sebagai ‘the set of beliefs and sentiments common to the average members of a single society (which) forms a determinate systmen that has its own life’. Kesadaran kolektif ini salah satunya adalah nilai-nilai agama yang berlaku secara tradisional dalam masyarakat –Durkheim menyebutnya sebagai ‘mechanical societies’. Hal ini juga menjadi fakta sosial yang penting dikarenakan kesadaran kolektif ini memiliki material berupa institusi masyarakat itu sendiri, populasi, jumlah serta sifat alami dari kanal komunikasi. Bagi Durkheim (1982:58) material-material tersebut merupakan fasilitas yang muncul dari corak struktur masyarakat yang secara radikal merupakan perwujudan dari bentuk hubungan antarindividu. Beberapa bentuk dari hubungan yang ada di masyarakat bagi Ferdinand Tonnies terbagi menjadi dua, yakni apa yang disebut sebagai Gameinschaft yang ada dalam masyarakat media, agama, bahasa, dan tempat sebagai kekuatan dasar dari bentuk solidaritas (Tonnies, 1995). Semantara Gesellschaft berasal dari kesatuan yang plural. Berasal dari kehidupan public atau merupakan dunia itu sendiri. Jika Gameinschaft (society) dimaknai sebagai organisme yang hidup atau masyarakat, sedangkan Gesellschaft (association) merupakan pengaturan kontrak atau kerjasama untuk maksud tertentu. Dalam pandangan Durkheim (1982:88) ‘In Gesellschaft every person strives for that which is to his own advantage and affirms the actions of others only in so far as and as long as they can further his interest’. Bagi Nikolas Rose (1996:337) ‘society’ dan komunitas dipandang sebagai sebuah konstruk yang telah mengubah aturan dan menggugurkan pandangan tentang masyarakat yang terbentuk secara nasional atau dalam sebuah negara. Karena bisa jadi aka nada gerakan yang tidak terikat oleh tali nasionalisme hanya karena alasan-alasan, misalnya, ekonomi semata. Sebab, keamanan sosial, keadilan sosial, hak-hak sosial serta solidaritas sosial menjadi basis yang mendasari seseorang dalam berintegrasi. Sementara menurut Touraine (1998) penolakan terhadap apa yang disebut dengan komunitas nasional berakar dari apa yang disebutnya sebagai ‘the decomposition… of society’ melalui cara berkembangnya otonomi dari ruang ekonomi yang berasal dari kontrol intitusional yang eksistensinya secara umum berada di level nasional. Menilik dari perkembangan kontemporer, Touraine melihat bahwa secara keilmuan sosiologi semestinya harus menemukan prinsip-prinsip baru dan kapabel untuk menaruh ide/pemikiran mengenai masyarakat (society) dan lebih spesial lagi tentang masyarakat nasional (national society) yang mampu menampung beragam bentuk mediasi serta integrasi didalamnya. Bahkan Touraine (1998:136) menegaskan bahwa tidak adalagi nilai-nilai universal yang transenden yang bisa menyatukan semua pihak. Berkaitan dengan fenomena yang ‘real’ dan ‘virtual’, Kumiko Aoki memberikan beberapa poin penting tentang komunitas virtual: 1.   those which totally overlap with physical communities 2.   those that overlap with these ‘real-life’ communities to some degree 3.   those that are totally separated from physical communities (dikutip dri Foster, 1997:24) Sementara term ‘telecommunity’ sendiri ditemukan dalam Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980), sebuah defenisi yang muncul jauh sebelum fenomena internet itu muncul. Toffler menyatakan bahwa eksistensi teknologi merupakan fasilitas umum yang muncul pada akhir era sosial-kapitalis, di mana kehadiran teknologi bisa mengubah pola-pola kerja dan juga komunikasi. Setiap pekerja sekarang bisa melakukan semua pekerjaannya di rumah sehingga interaksi mereka dengan anggota keluarga dan tetangga menjadilebih intens; ini yang disebutnya dengan ‘selective substitution of communication for transportation’ (1980:382). Dari pembahasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa komunitas virtual maupun telemediated sangat mungkin terjadi pada baik pda bentuk-bentuk broadcast dan network/jaringan komunikasi. Ritual-ritual komunikasi itu melibatkan beragam bentuk dari komunitas yang berbeda, dan pola konsumsi media yang sekrang lebih pribadi (khusus) dan dari ruang yang pribadi ini akhirnya akan mengoneksikan hubungan yang lebih mengglobal dimana bentuk sederhana dari term komunitas yang selama ini dipahami akan bergeser perlahan-lahan. Holmes (2005:222) menandaskan bahwa pada dasarnya kini untuk berinteraksi dengan seseorang berarti individu itu melakukan interaksi dengan media. Fenomena ini merupakan ciri khas dari budaya global dan kaum urban. sumber buku:Holmes, David. 2005. Communication Theory: Media, Technology and Society. London, Thousand Oaks, New Dehli: SAGE Publications | sumber foto: corbis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H