Saya kangen sambel terasi apalagi dengan tahu-tempe goreng.
Ini soal rasa dan identitas saya sebagai penduduk nusantara ini terhadap kulinernya. Biarpun sudah beberapa kali ke luar negeri, tetap saja lidah saya merasa asing dan aneh dengan makanan khas di berbagai tempat itu. Bagi saya, sekali lagi, kulineran nusantara jauh lebih hebat dan beragam dengan harganya yang murah.
Tetapi saya bukan anti makanan dari luar. Saya tetap mencobanya dan dalam kesempatan tertentu saya terpaksa harus “menerima” apa adanya makanan yang tersaji. Ini bukan soal selera apalagi sekadar gaya hidup yang menurut pakar budaya David Chaney (1996) sudah menjadi komoditas yang menentukan nilai seseorang, melainkan saya susah mencari makanan khas Indonesia di negara-negara yang saya kunjungi.
Di luar negeri, saya yakin seyakin-yakinnya tidak banyak yang jual kerupuk sebagai salah satu pendamping makanan kala dinner atau lunch. Di Indonesia, mau dari ujung pulau di Barat sampai ujungnya lagi di Timur saya sangat mudah menemukan kerupuk. Ya, saya sangat enjoy aja menikmati makan ala kadarnya: nasi hangat, kerupuk, dan garam. Maklum sejak kecil saya terbiasa makan ini dikarenakan keluarga saya yang hidup pas-pasan dan mengandalkan seorang ayah sebagai pegawai pemerintah golongan rendah.
Tapi, bukan berarti saya tidak punya pilihan makanan yang lain. Dengan posisi saya sebagai dosen dan konsultan serta sebagai blogger, saya sering mengikuti undangan resmi, dipanggil sebagai penceramah, dan berdiskusi. Ada banyak makanan di sana, namun entah mengapa selera saya tetap yang itu-itu saja. Jika ada makanan ala prasmanan yang dihidangkan di sebuah acara, sementara yang lain mengantri dengan tertib mulai dari meja yang disediakan piring saya akan langsung ke ujung akhir meja itu. Ada apa di akhir meja? Di sana saya pastikan dulu ada kerupuk (biasanya kerupuk udang) dan sambal. Ya, kalau itu ada saya sudah tahu apa yang akan saya makan.
***
Sore (1/1) di awal tahun 2014 ini persiapan saya untuk berangkat sudah selesai. Namun, tetap saja saya harus mengecek satu demi satu pakaian, barang, sampai pernak-pernik yang mau dibawa. Tidak ada yang terlewatkan kecuali jaket yang saya tukar dengan jaket berbahan tebal yang cocok dengan musim dingin; atau minimal jaket ini bisa saya pakai selama di dalam pesawat yang lama itu dan di hotel yang saya yakin udara dari mesin pendinginnya cukup membuat saya lebih kangen untuk menghirup bandrek, sekoteng dan sejenisnya.
Ya, saya akan memulai memasuki tahun 2014 ini dengan melakukan perjalanan ke luar negeri. Tepatnya akan ke Qatar dan tepatnya lagi saya akan berengkat sebagai seorang blogger; ceritanya jadi duta besar khusus bidang jalan-jalan dari Blogger Reporter Indonesia (BRID).
Kepergian saya Doha, Qatar dalam rangka memenuhi undangan Indosat sebagai salah satu provider terbesar di Indonesia. Di sana saya dan beberapa rekan wartawan akan mengunjungi kantor pusat Ooredo sebagai pemilik saham Indosat. Juga, saya akan menyaksikan pertandingan persahabatan antara Real Madrid dan Paris Saint Germain di Stadiun Khalifa pada 2 Januari 2014 waktu setempat.
Belum lagi berangkat saya sudah memikirkan apa yang mau saya makan nanti. Tentu ala Timur Tengahan dengan beragam dagingnya dan kuah khas. Sambal? Kalau menurut pengalaman saya kulineran di rumah makan di sekitar Jalan Proklamasi Jakarta yang khusus menyajikan masakan Timur Tengah tentu akan ada sambal di sana. Hanya saja saya tidak yakin apakah ada terasi di sana.
Maka, saya kembali membuka tas saya. Di kantong tas depan saya memastikan lagi ada 5 sachet sambal terasi yang saya beli di sebuah pasar tanpa sengaja. Awalnya saya mau bawa yang botolan kaca, tetapi rupanya sudah ada yang lebih praktis. Sungguh... hati saya tentram dan minimal kangennya saya dengan kuliner Indonesia bisa terobati.