Ke’de’ ko anta unbating …
Pagi sekali saya dan beberapa rekan tiba di Tana Toraja.
Perjalanan malam sekitar 8 jam di atas mobil yang ditempuh dengan kecepatan tinggi, nyaris sedikit pengereman, tentu melelahkan apalagi saya duduk di kursi paling belakang. Satu-satunya yang diinginkan adalah berbaring di kasur yang empuk dan memejamkan mata. Namun, itu dalam kondisi normal. Menjejak Tana Toraja tentu rugi kalo dilalui dengan hanya terlelap saja.
“Di sini, pesta pernikahan tidak semeriah pesta kematian.”
Ungkapan itu seolah-olah membuat energi saya bertambah. Lelah, pegal, dan kantuk menjadi hilang seketika. Bagaimana tidak, di berbagai daerah–kecuali Bali yang pernah saya datangi–yang namanya pernikahan selalu dilakukan secara meriah dan kalau perlu si empunya hajat berhutang ke sana-sini demi gengsi kepada tetamu. Nah, ini kebalikannya.
Beruntungnya, tim perjalanan saya itu mendapatkan informasi bahwa ada pesta kematian tak jauh dari lokasi istirahat kami di Hotel Milisiana.
“Paling sekitar 10 menit ke lokasi,” begitu petunjuk arah yang saya dengar.
Maka, dipaculah mobil mencari lokasi itu. Sempat kehilangan arah, tetapi ada seorang dari penduduk setempat yang berbaik hati mengantarkan dan menjadi petunjuk arah dengan motornya. “Saya baru dari sana. Ramai. Ada pejabat juga,” katanya sebelum memacu motor.
Selang berapa lama kemudian saya dan rekan-rekan tiba di lokasi. Mobil tidak bisa masuk ke area upacara kematian itu digelar, maka kami harus berjalan kaki sekitar 10 menit ke lokasi.