Sebelum ada gadget atau perangkat telepom genggam, konsol permainan, dan bahkan laman virtual, tentu permainan itu selalu dilakukan di luar ruangan. Tidak hanya itu, permainan yang dilakukan pun selalu sederhana. Ya, ada rasanya perubahan yang sangat luar biasa dari kemajuan teknologi dan informasi serta penemuan perangkat-perangkat yang memang dibuat untuk permainan elektronik.
Mungkin tidak semua generasi ingat, tetapi saya masih ingat bagaimana lapangan tanah bulutangkis bisa digunakan untuk permainan galasin atau goba sodor. Tiang listrik selalu tiap habis salat magrib saya dan teman-teman gunakan untuk main benteng-betengan. Batang pohon pisang yang bisa dijadikan senjata dan saya pun berlagak seperti tentara. Atau… potongan bambu untuk dijadikan enggrang dan bermain adu cepat.
Ah, rasanya kenangan akan permainan masa kecil itu seperti baru saja kemarin saya lakoni bersama teman-teman kecil saya. Makanya ketika tahun lalu ada sebuah grup virtual di Facebook yang isinya nostalgia masa kecil, saya pun menikmati kenangan itu dengan membaca postingan tentang masa kecil.
Saya tidak mengatakan bahwa permainan tradisional dan memanfaatkan bahan alami itu punah. Saya sangat yakin masih banyak yang tetap bermain wayang-wayangan dari batang padi, bermain gobak sodor meski di lapangan bulutangkis yang sudah di semen, bermain petak umpet di antara rumah-rumah komplek yang mulai ramai merambah pinggiran kota, atau menyentil kelereng setelah pulang dari sekolah. Bahkan saya dan anak-anak di rumah pun masih memainkan congklak dan ular tangga.
Ketika di hari ke-4 trip perjalanan dari Jogjakarta-Bandung dan kendaraan yang kami bawa dalam tajuk #JejakParaRiser menjejak kota kembang, seseorang langsung mengatakan, “Komunitas Hong.”
Komunitas Hong? Apakah masuk dalam kategori wisata?
“Itu adalah lokasi tempat permainan tradisional yang banyak di tataran Sunda,” jelas teman saya tadi melanjutkan, “tempatnya sederhana dan masih alami. Ada banyak permainan tradisional yang bisa dilihat di sana.”
Ok, kendaraan kamipun menuju daerah Dago tepatnya di Jalan Bukit Pakar Utara. Buat mereka yang ingin mengunjungi lokasi ke tempat ini, Anda bisa menggunakan kendaraan umum ke Terminal Dago dan dilanjutkan menggunakan ojek.
[caption id="attachment_365808" align="alignnone" width="640" caption="Komunitas Hong (dokumen pribadi)"]
Nama Komunitas Hong sendiri konon kabarnya berasal dari kata “hong” yang artinya bertemu. Ucapan “hong” itu sendiri adalah ungkapan dalam permainan ucing-ucingan atau petak umpet dalam tradisi masyarakat Sunda.
Komunitas ini digagas oleh Mohammad Zaini Alif sejak tahun 2005 dengan melibatkan warga terutama anak-anak di sekitar lokasi Komunitas Hong Berada. Sang penggagas dikenal sebagai orang yang memang memiliki minat untuk melestarikan permainan tradisional di tatar Sunda dan juga permainan di Nusantara. Berapa yang sudah terkumpul? Ada sekitar 250 permainan tradisional yang ada di masyarakat Sunda. Ow… sebagai orang Sunda, minimal dilahirkan dari orang tua berdarah Sunda, saya sampai tak percaya dan takjub bahwa ada ratusan permainan yang ada di tanah ini.