Mohon tunggu...
M. Hafizhuddin
M. Hafizhuddin Mohon Tunggu... Aktor - Kang Apis

Anggota Komunitas Tidur Berdiri di KRL

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Narasi "Cebong-Onta", Generalisasi Sesat Logika

14 Februari 2018   08:51 Diperbarui: 14 Februari 2018   11:14 6263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: publicdomainpictures.net

Marilah kita berpikir dengan jernih. Kehidupan ini tidak lepas dari pujian dan kritikan, apapun itu bahasannya. Sayangnya sekarang ini saat menyampaikan pujian terhadap satu sosok maka kita dihakimi berada di kubunya, begitu pula jika sosok tersebut dikritik maka kita dianggap berada di kubu berseberangan.

Anehnya ada cap yang diberikan tanpa relevansi. Lihat saja dalam perdebatan politik di Twitter, kubu yang berseberangan dengan Jokowi hampir pasti dikaitkan dengan "kencing onta". Padahal sepengetahuan saya, "kencing onta" itu ada dalam pembahasan berbeda yaitu pro-kontra vaksin yang terjadi akhir tahun lalu, yang mana menurut beberapa orang kencing unta dapat menjadi pengganti vaksin. Pernyataan tersebutlah yang kemudian menjadi kontroversi.

Ketidaknyambungan juga terjadi saat kasus penyerangan pastor di Gereja Santa Lidwina, Yogyakarta beberapa hari lalu. Saat ada yang menyerukan toleransi beragama dan mengutuk kejadian itu, ia dicap "cebong". Padahal kerukunan beragama adalah mutlak, tidak memandang di kubu mana berada. Alasannya sih karena "si cebong" ini berkoar hanya saat penyerangan pastor, sementara diam saat ulama/ustad dilukai.

Generalisasi ini yang bagi saya sangat mengganggu dan tidak masuk logika. Sebab orang-orang yang anti-vaksin belum tentu berada di kubu Prabowo. Begitu pula yang mengutuk penyerangan pastor belum tentu sebagai pendukung Jokowi. Betul, kan?

Memang hal-hal seperti ini diakibatkan oleh sikap fanatik dan berlebihan. Itulah mengapa dalam Islam, Tuhan melalui Al-Quran memperingatkan manusia untuk tidak berlebihan dalam segala hal, salah satunya ada di surat Al-Araf ayat 31.

Menurut saya kefanatikan ini dekat dengan kemunafikan. Dalam politik di Indonesia sekarang jelas terlihat seperti itu. Saat seorang tokoh yang ia "puja" melakukan kesalahan, ia seolah menutup mata dan membela tokoh tersebut dengan lantang sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.

Padahal logikanya jika kita mendukung seseorang, kitalah yang harus menyuarakan kritikan paling nyaring saat ia salah. Tujuannya tentu saja untuk kebaikan dan kemajuan orang tersebut.

Saya tidak yakin hal seperti ini dapat berakhir segera, apalagi dua tahun ke depan ini merupakan tahun politik. Kegaduhan yang diciptakan para pencari perhatian bakal kita temui terus di media sosial.

Oleh karena itu saya coba menjaga kewarasan dengan tidak mengikuti akun-akun yang kerap membicarakan politik. Meskipun tetap saja ada beberapa yang muncul di linimasa karena di-retweet/like rekan yang saya ikuti.

Mudah-mudahan banyak dari kita yang tak mempan lagi diprovokasi oleh narasi-narasi basi. Selamat menjaga kesehatan pikiran!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun