Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tegal, Kota Tongseng dan Gule Kambing

22 Agustus 2011   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ingat Tegal, pasti benak pertama kali langsung mengingat Warung Tegal atau biasa di singkat Warteg. Di Ibukota, warteg banyak bertebaran dimana-mana, mulai dari pinggiran jalan besar, sampai pojokan jalan tikus warteg selalu ada.

Warteg sendiri adalah warung nasi andalan para rakyat dengan penghasilan yang pas-pasan. Murah meriah dan kenyang. Tapi seperti apakah suasana dari kota asal warteg itu sendiri?

Pada 22 Agusutus 2011, saya diminta kantor meliput suasana mudik, yang dimulai dari Semarang, kembali ke Jakarta. Titik berangkat adalah kota Semarang. Maka berangkatlah saya, menggunakan mobil kantor, ditemani supir dan seorang fotografer.

Berangkat dari Jakarta, menjelang pukul 14.00 Wib. Jalur yang digunakan adalah jalur Pantai Utara atau dikenal dengan Pantura. Suasana Pantura sendiri belum terlalu ramai. Pun saat tadi melewati jalan tol Cikampek, arus lalu lintas lancar-lancar saja. Bahkan mobil yang saya tumpangi bisa dikebut hingga kecepatan 100 kilometer per jam.

Namun suasana Pantura sudah terlihat berbenah menyambut para pemudik. Di sepanjang pinggir jalan saya lihat warga sekitar Pantura sibuk membangun warung darurat beratap terpal dan bertiang bambu. Memang warung darurat di kala puncak mudik akan banyak ditemui menyesaki pinggiran jalan.

Sekitar pukul 20.00, saya sudah sampai di daerah Tegal. Mampir sebentar di sebuah warung makan untuk mengisi perut, setelah tadi saat berbuka hanya sempat minum teh botol saja. Menu di rumah makan itu : sate kambing muda, tongseng dan gule kambing.

Saya pun pesan tongseng. Yang lain pun memesan yang sama. Tongsengnya cukup enak. Rumah makan itu sendiri, masih berbau cat. Dinding rumah makan memang kinclong dengan cat barunya. Pun taplak mejanya pun semua baru.

Kata pemilik rumah makan, itu demi menyambut para pemudik. Ya, semua bersolek menyambut para pemudik, berharap cipratan rejekinya.

Setelah makan, perjalanan pun dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, mata tak lepas merekam suasana kota Tegal. Nah, yang menarik saya adalah banyaknya rumah makan dengan menu tongseng, gule dan sate kambing.

Tak terhitung plang-plang di pinggir jalan bertuliskan sedia sate, tongseng dan gule kambing. Saya sampai capai dan menyerah untuk menghitungnya. Karena dari Kota Tegal, sampai Kabupaten Tegal dan hingga habis ke perbatasan Pemalang, menu tongseng, dan sate kambing terpampang di pinggiran jalan kiri dan kanan.

Saya pun berkesimpulan untuk menambah julukan baru bagi Kota Tegal, selain kota bahari dan kota asal warteg, kota ini juga kota tongseng, sate dan gule kambing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun