Malam tadi, saya baca di sebuah portal berita, belasan siswa pingsan saat mengikuti acara
One Day No Rice. Acara itu hajatannya Pemerintah Kota Depok. Saat ini Kota Depok, di pimpin Nur Mahmudi Ismail, politisi PKS yang juga bekas Menteri Kehutanan.
Kepemimpinan Nur Mahmudi kedua kalinya di Depok. Dan One Day No Rice, adalah salah satu kebijakan yang ditelorkannya, di masa kedua kepimpinannya. Acara One Day One Rice yang menyebabkan belasan siswa yang diajak turut serta pingsan itu adalah bagian dari kebijakan satu hari tanpa nasi ala Pak Walikota Depok itu.
Tujuan acara itu sendiri yang saya baca dari portal berita itu, sangat artifisial, hanya untuk mendapatkan rekor Meseum Rekor Indonesia atau biasa disingkat MURI.
Dari portal berita itu juga saya baca, belasan siswa yang pingsan itu mengaku tepar karena tak terbiasa dengan keharusan tak makan nasi dalam rentang waktu yang lama. Meski sudah sarapan pakai susu dan roti, tetap saja mereka tak kuat akhirnya tumbang. Untung tak ada yang meninggal. Saya tak tahu, apakah Rekor MURI bisa didapatkan atau tidak.
Kebijakan 'politik kuliner' ala Pak Walikota Depok itu juga sempat memantik kontroversi. Saya pernah baca di sebuah koran, Kementerian Dalam Negeri sendiri tak terlalu berkenan dengan kebijakan 'aneh' Nur Mahmudi. Tapi Nur Mahmudi bergeming, katanya tidak akan mencabut kebijakan yang sudah dibekali dengan surat keputusan walikota.
Tujuan Pak Walikota kenapa mengeluarkan kebijakan yang membuat belasan siswa pingsan itu, katanya demi mewujudkan diversifikasi pangan, biar penduduk Depok tak selalu bergantung pada nasi sebagai makanan pokoknya.
Agar kebijakan itu jalan, pegawai di lingkungan Pemkot Depok pada hari tertentu dilarang makan nasi. Alhasil, kantin yang ada di lingkungan kantor pemerintahan di Kota Depok, pada hari tertentu di larang pula jualan nasi. Yang dibolehkan adalaha penganan di luar nasi. Misal, pisang rebus atau singkong rebus. Saya tak tahu lontong apa termasuk yang di larang. Namun yang pasti, para pegawai kelabakan, puluhan tahun, bahkan dari kecil terbiasa makan nasi, tiba-tiba di larang.
Apa semua aparatur di Depok menurut manut? Entahlah, saya tak tahu pasti. Namun kabar dari koran, Pak Walikota katanya akan tegas menindak pegawainya yang makan nasi di hari yang dilarangnya itu. Dalam bayangan saya, pasti banyak pegawai yang sembunyi-sembunyi 'mengkadali' kebijakan politik kuliner bosnya.
Entah itu diam-diam keluar sebentar dari kantor, lantas sembunyi-sembunyi mampir ke warung tegal, dan cepat sigap menandaskan sepiring nasi dan lauknya.
Saya sendiri merasa aneh dengan kebijakan 'kuliner' ala Pak Walikota Nur Mahmudi. Kalau mau memasyarakatkan diversifikasi pangan, mbok yang agak diterima akal sehat dan cerdas. Misal bagaimana Pemkot Depok itu lewat instansi yang terkait dengan masalah pangannya bisa menghasilkan sebuah produk diversifikasi pangan yang menarik selera pasar.
Atau membuat kebijakan yang bisa mendorong industri pangan dan kuliner di Depok bisa menghasilkan produk diversifikasi pangan yang menarik dan punya nilai lebih. Punya nilai jual. Sehingga bisa bersaing dengan nasi dan sayur lodehnya. Atau bisa jadi pesaing makanan siap saji.