Menjelang dihelatnya pesta akbar 2004, Partai Golongan Karya atau Golkat, bikin gebrakan baru, menggelar konvensi penjaringan calon presiden. Siapa yang akan terpilih, nantinya bakal diusung beringin untuk manggung di pemilihan presiden. Beringin pun, pada pemilu 2004, mendapat hasil mucekil. Raihan suaranya terbesar diantara semua peserta pemilu lainnya. Golkar pun, ditasbihkan jadi pemenang pemilu, dengan dulangan suara sebanyak 24, 4 juta suara atau 21,5 persen dari total suara sah secara nasional.
Elit-elit beringin hidungnya kembang kempis, merasa sangat bungah dengan prestasi di medan legislatif. Modal sudah didapat, menjadi pemenang pemilu. Kini, tinggal menatap pemilihan presiden. Konvensi pun digelar, dengan penuh semangat. Sederet tokoh nasional ikut jadi pesertanya, seperti Pak Aburizal Bakrie atau Pak Ical, Pak Jusuf Kalla atau Pak JK, Pak Prabowo Subianto, Pak Wiranto, Bang Akbar Tandjung hingga almarhum Cak Nur, atau Pak Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim terkemuka Indonesia.
Di tengah jalan, beberapa tokoh undur diri, seperti Pak Aburizal Bakrie dan Pak Jusuf Kalla. Bahkan Pak JK, langsung pamit diri karena memutuskan akan berduet dengan Pak SBY, yang kala itu sudah membuat perahu baru, yakni Partai Demokrat. Sementara calon lainnya, karena mendapat dukungan yang tak signifikan, juga mengundurkan diri, yakni Pak Prabowo dan Cak Nur. Alhasil, di tahapan terakhir yang bertarung di konvensi adalah Pak Wiranto lawan Bang Akbar. Hasilnya, Pak Wiranto, mantan Panglima TNI yang keluar sebagai pemenang konvensi. Bang Akbar, harus kecewa, meski kala itu ia adalah nakhoda beringin, tapi mesti menelan pil pahit, kalah tersingkir oleh 'tokoh pendatang baru' Pak Wiranto.
Beringin pun, mendapat capresnya, yakni Pak Wiranto. Persiapan menghadapi Pilpres pun digelar. Meski bergairah, tapi semangat terlihat tak terlalu menggebu, terutama dari kubu Bang Akbar. Padahal Bang Akbar, adalah juru mudi beringin, yang punya 'kuasa' atas mesin Partai Golkar. Di tambah lagi, salah satu kadernya Pak JK malah menyebrang ke kubu lain, bertarung bersama Pak SBY melawan jagoan Golkar.
Wakil pun didapat, yakni KH Solahuddin Wahid, adik kandung KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, mantan Ketua PBNU, sekaligus mantan Presiden RI. Harapannya dengan menggandengan Gus Solah, demikian panggilan KH Solahuddin Wahid, suara kaum sarungan atau nahdliyin bisa merapat dan berteduh di bawah beringin. Padahal, di kubu lain, yakni kubunya Ibu Megawati, saat itu berstatus incumbent, setelah menggantikan Gus Dur yang diturunkan MPR, menggandeng pula pentolan NU, KH Hasyim Muzadi. Bahkan KH Hasyim ini, adalah Ketua PBNU aktif saat itu. Alhasil suara nahdiliyin diperebutkan kubu beringin dan banteng. Beringin lewat sosok Gus Solah dan banteng via KH Hasyim.
Usai konvensi, Pak Prabowo tak kedengaran namanya. Meski ia saat itu tercatat duduk di jajaran dewan pembina Golkar. Baru, menjelang pemilu 2009, namanya kembali muncul. Kala itu, lahir sebuah partai baru bernama Gerakan Indonesia Raya. Kabarnya, Pak Prabowo adalah orang dibalik kelahiran Gerindra. Benar saja, Pak Prabowo pun akhirnya muncul, menggelar jumpa pers, menyatakan keluar dari Golkar dan masuk Gerindra. Di Gerindra, ia didapuk sebagai Ketua Dewan Pembina. Sekaligus, oleh elit Gerindra, ia diproyeksikan sebagai capres dari partai tersebut.
Iklan pun langsung digeber. Di layar kaca, mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus itu hilir mudik nongol menyapa pemirsa. Salah satu slogannya adalah menjadikan Indonesia sebagai macan Asia. Pak Prabowo, pensiunan jenderal bintang tiga itu juga rajin bertamu dan bertemu dengan petinggi partai lainnya. Tujuannya jelas, menjajaki kemungkinan untuk berkoalisi, untuk memuluskan niatnya menuju Istana Negara.
Sayang, hasil raupan suara, Gerindra tak begitu gemilang. Partai berlambang kepala burung Garuda itu, hanya mampu mendulang suara sebanyak 4 persenan atau setara 26 kursi. Raihan suara itu, menempatkan Gerindra di posisi 8 klasmen akhir politik Indonesia yang hanya menghasilkan 9 partai penguni Senayan. Di bawah Gerindra, adalah Partai Hanura, yang meraup 3,7 persen suara. Sementara syarat untuk mengajukan capres dan cawapres, cukup berat. Partai atau gabungan partai, mesti memenuhi syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suarta nasional.
Bagi yang raihan suaranya minim, di bawah dua digit, jelas ini kabar buruk. Mereka harus pontang-panting mendekati partai-partai lain, agar bersedia menggabungkan suaranya. Sehingga, gabungan suara itu bisa dipakai untuk memenuhi syarat presidential treshold. Nah, yang pontang-panting itu, salah satunya adalah Gerindra. Dengan raihan 4 persen suara tentu berat bagi mereka untuk menyorong Pak Prabvowo ke pentas Pilpres. Koalisi dengan partai lain menjadi sebuah keharusan.
Pak Prabowo pun coba mendekati PPP, juga merayu PAN, dan partai-partai lainnya. Salah satu petinggi partai yang didekati Pak Prabowo adalah Mas Tris, yang ketika itu jadi nakhoda PAN. Pak Probowo juga mendekati Pak Wiranto, ketua umum Partai Hanura. Padahal, sudah bukan rahasia lagi, bila Pak Prabowo dengan Pak Wiranto itu kabarnya berseteru. Sebab di era Pak Wiranto, sebagai Panglima TNI, Pak Prabowo disidang oleh Dewan Kehormatan Perwira, karena diduga ikut dalam kasus penculikan aktivis pro demokrasi, yang melibatkan beberapa anggota Kopassus, satuan elit yang sempat Pak Prabowo pimpin.
Tapi, pendekatan itu semuanya buncah. Partainya Mas Tris, PAN justru merapat ke Demokrat, partainya Pak SBY yang memenangi Pemilu 2009. Bahkan Pak Hatta Rajasa, salah satu petinggi PAN didaulat oleh Pak SBY sebagai ketua tim suksesnya, saat maju Pilpres. Pun, pendekatan dengan PPP. Partai Kabah itu, juga mengikuti jejak PAN, bergabung dengan Pak SBY. Sementara Pak Wiranto, memutuskan bergabung dengan Golkar, dengan kompensasi posisi cawapres bagi Pak Jusuf Kalla atau Pak JK, ketua umum beringin.
Alhasil, Pak Prabowo pun belum mendapat kawan berkoalisi. Ambisinya maju ke palagan atau medan laga Pilpres, terancam gagal. Beruntung, setelah melalui pembicaran alot, akhirnya Pak Prabowo bisa juga maju ke palagan politik dengan PDI-P, partai yang dinakhodai Ibu Mega. Tapi, ia maju terpaksa maju, sebagai cawapres Ibu Mega, sebab raihan suara partainya yang kecil. Maka jadilah duet Ibu Mega- Pak Prabowo yang dideklarasikan di Tempat Pembuangan Sampah Akhir, Bantar Gebang, Bekasi Jawa Barat.
Pilpres 2009 pun, bisa dikatakan menjadi palagan politik pertama Pak Prabowo. Sayang, di palagan pertamanya Pak Prabowo gagal. Duet Ibu Mega-Pak Prabowo, tak bisa menaklukan pasangan Pak SBY-Pak Boediono. Begitu juga dengan duet Pak JK dan Wiranto. Mereka pun tersingkir dari persaingan. Pak SBY dan Pak Boed pun, kemudian keluar sebagai jawara setelah menang telak dengan raihan 60 persen lebih dukungan pemilih.
Waktu pun kemudian berlalu. Sampai kemudian tiba pesta demokrasi berikutnya di 2014. Kembali Pak Prabowo, membangunkan kembali asanya menjadi Presiden Republik Indonesia. Bersama Gerindra, ia pun merintis asa menuju Istana Negara. Iklan pun ditabur gencar di layar kaca. Tapi, kemudian muncul sosok Mas Jokowi, yang seakan datang mengganjalnya. Gubernur Jakarta ini, yang juga diusung Pak Prabowo saat pemilihan gubernur ibukota kemarin, tingkat elektabilitasnya justru melejit. Elektabilitas Pak Prabowo berdasarkan berbagai hasil survei, selalu berada di bawah Mas Jokowi.
Sampai kemudian Mas Jokowi ini, resmi dicapreskan oleh PDI-P. Perjalanan Pak Prabowo menuju Istana pun kian terjal. Padahal hitung-hitungan politiknya, bila Mas Jokowi tak maju, yang punya kans kuat menang dalam Pilpres, adalah Pak Prabowo. Sementara Pilpres adalah palagan kedua bagi Pak Prabowo. Cerita politik pun, kemudian mencatatkan kisah tentang diungkitnya perjanjian Batutulis Bogor. Kabarnya, menurut klaim kubu Pak Prabowo, di perjanjian Batutulis itu, Ibu Mega bersama PDI-P, akan mendukung Pak Prabowo sebagai capres 2014, sebagai kompensasi kesediaan Pak Prabowo mau jadi cawapresnya Ibu Mega, di Pilpres 2009. Kubu Ibu Mega, yang sudah mencapreskan Pak Jokowi, tak tinggal diam, membantah klaim itu. Persaingan pun mengeras antara kubu Pak Prabowo dengan kubu Ibu Mega, bersama Mas Jokowi capres partainya.
Panggung politik pun ramai dan gaduh. Sampai kemudian muncul istilah pemimpin boneka yang dilontarkan Pak Prabowo dalam kampanyenya. Pak Prabowo, pantas cemas. Sebab hasil sigi lembaga survei, menempatkan Mas Jokowi, jauh diatasnya. Apakah, di palagan keduanya, Pak Prabowo kembali bakal menelan pil pahit? Terlalu dini, menyimpulkan itu. Dalam survei, memang elektabilitas Pak Prabowo kalah kinclong dengan elektabilitas Mas Jokowi. Tapi, politik itu dinamis, bahkan dalam setiap detiknya. Patut ditunggu, apakah di palagan keduanya, sang komandan jenderal ini bisa membalik keadaan dengan keluar sebagai pemenang? Ataukah sama seperti palagan pertama, kembali gagal memenangi medan pertempuran politik? Baiknya kita tunggu saja, hasilnya seperti apa....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H